#2 Kami dan Pembunuh

438 69 46
                                    


Kami dan pembunuh, 30 Agustus 1996

Gedung-gedung tinggi berkilau terwajahi pagi, tentu dapat orang lihat dari bawah.

Di bawah sana berlapis jalan, yang membusuk dikentuti besi beroda. Orang beri nama 'kendaraan berbahan bakar'.

Lalu-lalang disana, berserakan manusia yang mencari kertas rupiah untuk hilang kembali. Sayangnya, hidung tak dapat memilih udara mana yang akan dihirup di tempat yang sama, polusi dan oksigen berdesakan menuju hidungmu. Sungguh tak dapat dibedakan lagi.

***

Beruntungnya kita, karena Tuhan menciptakan kota sekaligus tempat yang tidak seburuk itu.

Di sini, sangatlah berbeda dengan keramaian tadi. Hijaunya kertas pohon yang memukau, meneduhkan jalan beraspal menuju puncak gunung itu. Gunung Kluri.

Terkadang, mobil jeep atau beberapa jenis mobil industri terlihat melaju naik. Menuruni gunung lagi karena hilang betah atau sebab lainnya.

Sejuk sekali, dan di ujung jalan yang menurun terlihat empat orang yang sudah setengah lelah, namun masih berusaha untuk terus menanjak. Mereka adalah Sarah, Nadia, Hery, dan yang paling tertinggal di belakang adalah Fano, Kakak kandung Nadia.

Ransel yang membengkak di punggung mereka membuat segala keluhan bermunculan.

Hery yang memimpin di depan, terus memberitahu hal yang sama. "Ayo, sedikit lagi!" teriaknya.

Fano yang terlihat paling lelah, kini mulai memegang kedua lututnya dan meludah napas berulang kali, "Istirahat dulu! Haus." katanya sambil mengangkat tangan kanan ke arah kawan-kawannya.

"Tanggung, ini lima menit lagi juga nyampe," ucap Sarah. Wajahnya berusaha sabar.

"Perasaan sejam lalu kamu juga bilang gitu, Rah! Sebentar deh sebentar, ya?!" Fano duduk di tengah jalan yang sepi, lalu mencabut botol minum di samping tasnya.

"Yaudah, kita tunggu Fano minum dulu!" Nadia mulai membela dengan pasrah.

Sarah melihat ke arah tujuan mereka, ternyata Hery sudah beberapa langkah lebih jauh. "Her! Berhenti dulu!" teriak Sarah. Hery pun membalikkan tubuhnya ke arah mereka.

"Nad, air minumku habis nih. Ada cadangan ngga?" tanya Fano. Nadia bernafas panjang, lalu berjalan menurun ke arah Fano sambil membuka tasnya.

Sarah menggelengkan kepala, dan ikut menghampiri Fano, "Fano, kamu sama Hery kan sama-sama cowok, masa kalah sama Hery, dia tuh minum saja baru seperempat botol. Bekal minum kita bisa habis nih untuk pulang!"

Fano menutup botol yang sudah dia minum, napasnya masih cepat, tambah lagi dia mulai kesal dengan apa yang baru saja Sarah tombakkan ke hatinya.

Sarah meneruskan nasihatnya, "Makanya, setiap libur itu sempatkan olahraga kayak Hery. Nge-gym kek Makan buah dan sayuran yang sering, minum harus cukup. Udah aku bilang jangan banyak makan mie campur saos! Tuh, lihat aja Hery sekarang! Fisiknya udah kayak Rambo."

Nadia mulai melihat Fano dengan khawatir. Darah Fano mulai bergejolak di kepalanya, sambil melihat Hery di atas sana yang sedang minum.

Sarah belum ingin berhenti, "Kalau bisa kamu belajar saja dari dia, dia kan suka nyari tips tuh agar nanti kamu jadi---"

"Sarah?!" Fano memotong ucapan Sarah dengan senyum kecut. "Puisi yang bagus. Tapi aku adalah Fano! Dari lahir udah Fano! Bukan Rambo Ayamnya Atuk Upin Ipin." balasnya.

Senyum Fano sekejap hilang lalu berdiri meninggalkan mereka berdua.

Sarah bersikap biasa saja.

Kincir Putih Romansa Usang | Dear Sarah (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang