#3 Hari Terakhir

191 53 11
                                    


Hari terakhir, 21 November 1996

🎵Melly Goeslaw - Bimbang

Sore di rumah Sarah, di mana seberang rumahnya terhampar padang rumput yang meluas.

Jika orang berjalan menyusuri padang rumput menuju barat, dia akan sampai ke sebuah danau bernama Cemara.

Gelapnya mendung ini hendak mengusir terang dari langit.

Listrik padam tanpa alasan yang jelas.

Kilat yang menyiksa awan, selalu disertai gemuruh langit yang parau, sungguh memukul telinga.

Keadaan ini, mengusik penghuni dinding yang beratap.

Ayunan kecil di halaman depan rumahnya kusam menghitam, lama tak terpakai. Gerbang besi yang berkarat sedikit terbuka. Terdapat lampu temaram di atas benteng rumahnya, seperti tak ingin menghadapi badai yang mungkin tiba.

Sarah sedang duduk termenung di kamar atas. Di atas sofa merah, dia menghadap ke arah jendela yang menembus keluar. Ditemani teh hijau dari Javanize Java yang hampir dingin terabaikan.

Sarah mulai melirik cangkir itu, mengambilnya perlahan, dan saat ingin meneguknya dia membaca tulisan di badan cangkir itu agak lama.

Dari
Fano Androantoro
"Selamat Hari Raya Kita Berempat"
- 02 Oktober 1994 -

Lalu dia batal meminumnya.

Hujan kini mulai bernyanyi, bernada sedih beribu ketakutan.

Embun sore kelabu menyamarkan permadani rumput yang membukit.

Sarah tak kuasa menahan apa yang harus dia pikirkan sekarang.

Fano.

Untung saja tragedi terparah itu tak merenggut siapapun, dan membuat Sarah tidak terlalu terpukul dan jatuh.

Sarah perlahan berdiri, mengambil blazer hitam dan syal merah di lengan sofa. Hendak memakainya sambil berjalan menghampiri jendela.

Kekelabuan ini sebenarnya tidak akan mengalahkan perasaan Sarah.

Indah pikirnya, ada sebuah rasa dalam hatinya yang tumbuh di tengah badai seluas jangkauan mata.

Pandangannya kini mulai mendaki langit.

Semakin tinggi, karena cahaya di balik badai menunggunya di atas sana. Mengajak terbang, mengusir badai, menikmati perasaan aneh yang indah yaitu cinta yang tidak berlebihan.

Jiwanya seakan terbang mengitari luasnya setengah perjalanan langit.

Dan kini pandangannya mendarat perlahan menyusul hujan yang mengetuk bumi, menuju halaman rumahnya.

Ayunan dari kayu, dulu Sarah sering memainkannya dengan jenaka, bersama salah satu sahabatnya. Sahabatnya yang kini dia benci, sedikit ataupun banyak sulit dijelaskan. Dan bayangan kejadian itu mengaburkan keindahan lamunan tadi, hancur seketika.

Hujan semakin riuh terlihat, angin berhamburan kemana-mana.

Sarah ingin menghentikan semuanya dan berniat untuk menutup tirai jendela.

Saat Sarah menyentuh kain tirai itu, tak sengaja dia melihat ke arah gerbang rumahnya.

Seorang pria berdiri di sana, rambutnya basah berantakan. Tak begitu jelas terlihat karena air langit mengaburkan jelas wajahnya.

Orang itu menggigil hebat. Namun, Sarah seperti telah menduganya, dan tahu siapa orang berjaket abu-abu itu.

"Dia lagi?! Masih belum menyerah juga?!" Sarah berucap kesal.

Sempat terpotret di wajah Sarah dengan cepat, kasihan melihatnya.

Namun perasaan itu hilang begitu cepat.

Laki-laki itu mengangkat lengannya yang hampir beku, lalu menunjukkan apa yang ia genggam kepada Sarah dari kejauhan, kincir putih dari kertas.

Akan tetapi, segala usaha orang itu hanya membuat sisi benci Sarah semakin merajai jiwanya.

Sarah langsung menutup tirai jendela dengan kesal yang menggumpal di hatinya.

Tak tersisa sebuah kata yang baik untuk orang itu baginya. Mungkin untuk saat ini, sampai kapanpun Sarah inginkan.

Orang itu menunduk, berjalan pergi ke arah padang rumput.

Dengan langkahnya yang menggigil tak beraturan. Menuju danau Cemara.

Semakin jauh, kadang seperti terpeleset, lalu menghilang ditelan kabut yang tidak menipis.

***

Kincir Putih Romansa Usang | Dear Sarah (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang