#4 Seminggu Sebelum Hari Terakhir

158 46 13
                                    

Seminggu sebelum hari terakhir, 19 November 1996

Di sebuah cafe dengan mendung di luar.

Pelanggan mulai sepi, hanya gerombolan anak muda yang bercanda kecil dekat barista.

Di meja lain dekat dinding kaca yang menerawang keluar. Fano duduk berhadapan dengan Nadia dibatasi meja kayu.

"Aku bingung harus menyarankan apa padamu!" terang Nadia.

"Aku ... Aku juga sama. Sebenarnya aku tak tahu saran apa yang kubutuhkan darimu," Fano melempar kembali dengan keputusasaan yang sama.

Nadia duduk berhadapan dengan Fano sejak satu jam lalu.

Obrolan yang seperti tidak menghasilkan apapun.

Secangkir latté di hadapan Fano belum habis juga.

Nadia yang memesan jus kiwi telah habis sekitar sepuluh menit yang lalu. Bukan karena ingin segera menyudahi pertemuan itu. Namun segala kepanikan yang dingin ini membuat Nadia tak bisa bersukacita. Membuatnya tidak tenang.

Nadia mulai memperhatikan wajah Fano, masih pucat pikirnya.

Kelopak matanya yang hitam seperti tidak pernah bertemu nyenyak selama berhari-hari.

Sweater toska tebal tanpa kerah sengaja dipakai agar tetap bertahan, menahan pancaroba yang mendadak.

Tangan Fano menggigil lesu, terkadang dipakainya untuk menutupi batuk atau memegang dadanya yang sesak.

Setelah membuang udara dihidungnya dengan panjang, Nadia mengalihkan pandangan sayunya ke arah luar, pikirannya berputar seperti mengundi jalan keluar mana yang harus dia berikan kepada kakaknya.

"Seberapa besarkah rasa sesal yang harus aku tunjukkan?" tanya Fano, "aku sudah mendapatkan maaf dari Hery. Dia memakluminya karena dia bilang ini kecelakaan, kecelakaan yang sudah menjadi takdir. Tapi Sarah, dia ...."

Nadia perlahan menatapnya lagi dengan iba. "Menurutku, sebenarnya Kakak sudah cukup diberi balasan dari Sarah. Kakak pun sudah menyesal, bahkan penyesalanmu kini lebih dari batasnya. Dan syukurlah Hery telah menerima kondisinya, yang kini tidak bisa berjalan normal karena amputasi waktu itu."

"Ya, Hery memang pria yang
hebat dan aku akui sekarang, tapi aku tidak mau kalah," Fano memegang cangkirnya lalu mengetuk-ngetuknya dengan telunjuk, juga membasahi bibirnya dengan lidah sambil berpikir. "Apa yang Sarah katakan saat kau menemuinya di Taman Flora kemarin?"

"Perkataannya tidak berubah, masih sama seperti perkataannya saat pertemuan kita dua kali sebelumnya. Jika aku terus menekan dia, aku takut dia bisa saja menjauh karena aku tidak sepaham dengannya," Nadia melipat lengannya lalu bersandar.

Fano tertunduk dan terpejam, berusaha tegar dengan apa yang didengarnya. "Kau tidak mengatakan apa yang kita rahasiakan padanya kan?"

Mendengar pertanyaan itu Nadia menjawabnya dengan menggelengkan kepala. "Tapi apa salahnya Sarah tahu keadaanmu, Kak?" nadanya mulai meninggi.

"Kau sudah berjanji untuk merahasiakan ini!" tegasnya. Sesaat Fano terbatuk dingin, lalu meneguk minuman itu dengan menggigil.

Setelah itu, nafas Fano tidak karuan. Air matanya perlahan mulai menggores pipinya dengan halus.

Bibirnya bergetar dan tangisnya tak dapat disembunyikan lagi. "Tapi, saat-saat inilah yang aku nantikan. Dimana dia terus memikirkanku karena kebenciannya padaku."

Nadia menutup wajahnya, kedua sikut ia tumpukan ke atas meja.

Bahasa tubuh Nadia terlihat mencemaskan sesuatu yang terbersit dipikirannya, yang mungkin akan terjadi di kemudian waktu.

Fano mulai berkata, "aku tidak inginkan mati sebelum waktuku datang! Sepatah kalimat yang aku harap darinya. Yang kau juga tahu kalimat apa itu.

Hanya pemberian maaf darinya.

Melihat Sarah saja, sebenarnya puasku lebih dari cukup.

Besok aku akan ke rumah Sarah lagi seperti kemarin.

Kau jangan halangi aku seperti hari ini!

Aku ingin menitipkan sesuatu untuk Sarah. Tolong berikan di waktu yang tepat, kau bisa bantu aku kan, Nad?"

Nadia tidak bisa menolak. Lagipula menurut Nadia hanya ini yang bisa dia lakukan agar jalinan yang rusak dapat pulih dengan perlahan.

Walaupun mungkin tidak akan benar-benar pulih.

***

Kincir Putih Romansa Usang | Dear Sarah (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang