chapter 3

91 6 6
                                    


Sebenarnya aku masih merasakan sakit dibagian dalam tubuhku, namun aku bersikukuh minta pulang. Mengatakan bahwa diriku baik baik saja. Aku tidak mau tagihan untuk perawatanku makin membengkak, cukup sudah. Keuangan kami (read aku dan kak vero) menipis untuk biaya kak vero. Kak vero lagi membuka usaha kecil kecilan membuat bengkel bersama 5 sahabatnya. Lalu juga uang buat kuliah kak vero. Memang kakakku itu mendapat beasiswa namun itu hanya untuk keperluan disekolah seperti SPP namun untuk kegiatan lainnya biaya sendiri.

Sedangkan aku? Aku juga dapat beasiswa. Untuk urusan jajan aku jarang kekantin, aku terlalu malas bertemu orang orang itu lagi. Lagipula setelah dipikir pikir uangnya sayang kalau dipake setiap harinya buat jajan, padahal nyari uang itu susah. Aku aja sekarang juga bekerja. Yah, meskipun menjadi waitres namun aku bangga karna uang itu hasil dari keringatku sendiri.

Pandanganku pun beralih kepada kakakku yang tergopoh gopoh menghampiriku. Yes! Akhirnya aku bisa pulang. Raut wajahnya terlihat beda dari yang kulihat tadi. Yah meski pancaran kecewa itu masih tercetak jelas diwajahnya yang rupawan, dari ekspresinya kak vero terlihat ada hal yang membuatnya bingung. Entahlah akupun tidak tau, bertanyapun aku merasa sedikit canggung.

Dan akhirnya akupun pulang, dengan beberapa syarat dari dokter yang menanganiku. Tadinya dokter wanita yang merawatku itu enggan memenuhi permintaanku, namun karna aku yang merengek terus berkata baik baik saja. Akhirnya dengan berat hati dia mengijinkanku untuk pulang.

***

Huuftt

Tak terasa, sekarang sudah sore yang berarti aku tidur lima jam dikamar minmalisku ini. Mungkin efect obat obatan tersebut yang membuatku menjadi sangat mengantuk.

Lalu kumelihat ada sticky note diatas nakas. Aku mengambil dan segera membacanya

Kalau sudah bangun, dimakan lalu minum obat.

Tulisannya cuma sebaris, namun mampu membuat lengkungkan keatas disudut sudut bibirku. Lalu aku mengambil piring yang berisi nasi lembek itu, yang aku taksir buatan kakakku. Coba kita liat apa benar ini buatannya, karna aku hapal dengan rasa bubur buatannya.

Tuh kan, ini benar. Nggak salah lagi. Walau sudah dingin, rasa khasnya masih sama. Entah apa yang ia masukkan, sehingga rasanya sedikit berbeda. Namun aku sangat menyukainya.

Setelah makanan itu habis tak bersisa. Entah mengapa, sesosok itu muncul dalam otakku. Dan mengambik alih semuanya. Apakah aku harus memberitahunya? Tidak! Tidak! Aku tidak akan memberitahunya. Bisa bisa bukannya tanggung jawab, namun anakku yang di apa apain. Tidak aku, tidak mau.

Aku meraba perut rataku, yang sekarang disana ada seorang nyawa baru. Air matakupun lagi lagi mengalir. Meratapi nasib anakku yang tak bersalah namun semua imbas terkena padanya.

***

Pagi ini, aku bersiap siap memakai seragam putih abu abu. Di depan cermin aku mematut wajahku yang terdapat lingkaran hitam dengan wajah pucat. Lalu kutaburkan bedak bubuk kearea wajahku dan lipbalm supaya tidak terlalu kentara. meskipun masih terlihat jelas kondisinya yang sangat mengenaskan. Karna memang aku tidak memiliki banyak peralatan make up, aku hanya mempunya bedak cuss*ons, lipbalm dan penjepit bulu mata. Kalau fondation, concelear, BB cream dan kawan kawannya aku belum memiliki. Bukan tak ingin mempunyai barang perempuan tersebut karna lagi lagi masalah ekonomi yang menjadi penghambat. Lebih baik ditabung, itulah menurutku.

Dan sekarang aku sudah siap siap, berangkat. Aku sudah memasak untuk kak vero yang sedang tidur. Mungkin kak vero kecapek an ngerjain tugas kuliahnya. Lagipula sejak insiden itu, aku jadi sedikit canggung pada kak vero. Dia seakan akan menjauh dariku, namun aku masih ingat saat dia memarahiku bahwa aku tidak boleh melakukan bunuh diri lagi.

Setelah selesai berkemas, aku mengambil tas biru muda lalu disampirkan. Setelah itu aku berjalan menuju halte untuk menunggu bus. Ditengah perjalanan ada seorang yang menghentikan jalannya, aku menoleh. Dan seketika aku tau siapa dia.

"Naik!" perintahnya.

Nah ada yang tau siapa dia? Iya itu kak vero. Akupun langsung naik tanpa banyak kata. Sedangkan kak vero membawa sepeda motornya juga diam tanpa kata. Suasana yang begitu hening, mengingat biasanya dimanapun berada, kondisi seperti apa kita selalu memperdebatkan sesuatu sampai yang kurang penting sekalipun seperti tentang semut sampai tentang pak somat pedagang sate yang setiap malam berjualan keliling, yang kumisnya panjang nan lebat sehingga ketika berbicara menimbulkan kesan bergerak gerak. Ah apa ya bahasanya? Haha dan yah, kak vero yang selalu menang.

Tak terasa kini aku sampai disekolahan. Aku ngacir langsung turun, tak lupa berpamitan kepada kakakku.

Disana, ada dia. Dia, yang membuatku seperti ini. Ingin ku menghampirinya namun kuurungkan diri. Diriku yang asyik memperhatikan gerak geriknya, wajahnya yang tampan menyita perhatian anak anak disekolahku. Semua siswi minus siswa yang lewat terpaku melihat pemandangan yang sangat indah terpampang didepannya. Inginku cakar cakar orang orang yang dengan seenaknya memandang lelakiku dengan lapar. Apa? Tadi aku bilang apa? Lelakiku!. Aku menggelengkan kepalaku.

Entah mengapa rindu ini menggrogotiku, padahal biasanya aku tak seperti ini. Rasa rasanya aku ingin berlari lalu memeluknya dengan segenap jiwa dan menghirup aromanya yang memabukkan. Tanpa terasa kakiku melangkah kearahnya. Namun kemudian aku tersadar, lalu ku cepat cepat melangkah pergi.

"Mel!" panggil seseorang, aku menoleh. Ternyata dina, lalu dia berjalan kearahku

"Kenapa din?" aku bertanya dengan lesunya.

Tangan dina meraba raba dahiku lalu memperhatikanku.

"Ya ampun mel! Lo sakit? Kok pucat gini? Ayo kita ke UKS aja!" ucap dina dengan tampang lucunya ketika khawatir.

Aku menggeleng sambil melepaskan tangannya dengan lembut dan tersenyum.

"Nggak apa apa kok din lagia..." belum selesai aku melanjutkan ada seseorang yang menyerobot pembicaraanku.

"Din?! Sudah berapa kali kita bilang, jangan sekali kali berbicara dengan cewek gatel kek dia. Ayo pergi!" ucap seorang gadis dengan beberapa antek antek dibelakangnya. Kemudian menyeret paksa dina dan menatapku dengan sinis, melewatiku dengan sengaja menyenggolkan bahunya padaku. Namun aku tetap bergeming. Sudah biasa.

Setelah itu aku berjalan kembali menuju kelasku. Dan menjatuhkan diri di bangku tempatku duduk. Yaitu berada paling pinggir kanan tiga bangku dari belakang.

Tbc

Part ini emang membosankan😞
Tapi tenang part yang akan datang akan ada hal yang seru! Percaya deh!!!

Because You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang