Chapter 9 - Memory

1.5K 178 17
                                    

Wounds of Life

Warning: AU, OOC, Typo(s), Yaoi, Boyxboy, DON'T LIKE? DON'T READ!

Main cast: Do Kyungsoo dan Park Chanyeol
::
::
Budayakan vote dan comment setelah membaca.
^^

Chanyeol's POV

Kyungsoo tampak begitu damai di bawah sinar rembulan malam itu. Aku mengawasinya sebentar, kemudian melihat sesuatu yang membuatku melototkan mata. Lengannya penuh dengan bekas luka yang sepertinya cukup menyakitkan.

Tidak mungkin ini belas kecelakaan atau semacamnya. Menyadari hal ini membuat perasaanku bercampur aduk. Aku duduk di sana dalam keadaan shock selama beberapa menit. Hal ini juga membuatku menyadari bahwa tak banyak yang aku ketahui tentang namja yang tertidur itu. Dia selalu menolak untuk membicarakan apa pun mengenai kehidupan pribadinya. Rasanya agak aneh pada awalnya, tapi sekarang aku mengerti dia punya alasan untuk melakukan itu. Dan akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa mungkin saja ia diintimidasi seseorang. Dia adalah orang yang pemalu, pendiam, dan selalu menjaga jarak dari orang lain. Sifat ini biasanya berhubungan dengan bullying. Untuk beberapa alasan yang aneh, aku merasa seperti gagal menjadi temannya. Jika kami bertemu lebih awal, mungkin saja aku bisa melindunginya.

Aku mengangkat tangannya yang lembut untuk melanjutkan pemeriksaanku. Melihat luka yang ada pada anak pendiam itu, membuatku merasakan penderitaannya. Aku jadi penasaran sebenarnya apa yang telah ia alami. Aku berencana untuk menanyakan hal ini padanya besok. Namun, apabila ia masih tak mau membuka diri, tak masalah. Aku akan selalu setia di sampingnya, sebagai teman yang akan melindunginya.

Aku terjaga berjam-jam memikirkan bagaimana cara bertanya padanya. Aku tidak ingin membuatnya takut atau pun marah padaku. Sebelum aku mengetahuinya, jam sudah menunjukan pukul empat pagi. Aku butuh tidur. Aku meletakkan kepalaku pada bantal dingin yang lembut yang ada di sampingku.

Sementara aku berbaring di tempat tidur, pikiranku kembali berputar pada kenangan lama yang kembali. Kenangan yang tak bisa aku lupakan.

::

Ketika aku berumur empat belas tahun, aku memiliki teman bernama Son Seungwan, orang-orang biasa memanggilnya Wendy. Kami sangat dekat satu sama lain. Aku juga waktu itu seperti remaja hormonal lainnya, mempunyai perasaan padanya. Dia tahu tentang hal ini tentu saja, tapi ia mengatakan padaku bahwa ia hanya ingin berteman. Aku bisa menerima hal itu tentu saja, meski awalnya aku juga merasa sedikit kecewa.

Aku dan Wendy mengenal satu sama lain sejak kami kelas dua sekolah dasar. Kami sering bertemu saat kedua orang tua kami berkumpul. Seperti yang kuceritakan sebelumnya, orang tuaku sering mengundang teman-temannya ke rumah kami. Aku dan Wendy menikmati berbagai momen indah bersama. Saat kami masuk SMA, kami juga mendapat banyak teman saat itu. Kami semua sering berkumpul pada hari Jumat dan nongkrong berjam-jam di sebuah kafe.

Suatu hari, ia mengatakan sesuatu hal padaku, sesuatu yang seharusnya aku tanggapi dengan lebih serius waktu itu. Dia berjuang mengeluarkan kata-katanya, mencoba membuka diri padaku. Dia berkata padaku bahwa sekarang ia sangat depresi dan hidupnya semakin sulit. Orang tuanya telah menaruh banyak beban padanya. Mereka bahkan mengabaikannya saat ia mengatakan bagaimana tekanan yang ia rasakan. Mereka tidak peduli, dan tidak melakukan apa-apa. Dan yang lebih menyakitiku adalah, aku tidak bisa melakukan apapun untuk membantunya. Aku melanjutkan hidupku seperti biasanya, tidak tahu apa-apa dan terlalu buta untuk melihat betapa menderitanya dirinya. Dia akhirnya menjauhiku. Aku bahkan tak tahu hal itu sampai keadaan menjadi semakin buruk.

Suatu malam, sebuah ambulans berada di depan rumah mereka. Ada banyak keributan di luar. Banyak tetangga berkumpul, penasaran dengan apa yang terjadi, sama seperti aku. Pada saat itu aku mendengar salah satu tetangga kami mengatakan bahwa Wendy... Wendy mencoba bunuh diri. Aku merasa seperi seribu batu bata telah menghantam kepalaku saat itu. Situasi ini sangat asing bagiku. Aku belum pernah melihat atau mengalami hal seperti itu sebelumnya.

Aku tidak bisa tidur selama dua malam, mencoba memahami apa yang terjadi. Aku masih terlalu buta untuk melihatnya. Seminggu berlalu dan Wendy akhirnya keluar dari rumah sakit. Dia pergi ke sekolah keesokan harinya. Dirinya tampak jauh berbeda dari yang kukenal. Aku tak ingin kehilangan dirinya, jadi aku melakukan sesuatu yang bisa menghiburnya. Aku menemaninya sepanjang hari, mencoba memulai percakapan, tapi ia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku belum menyerah. Aku bercerita padanya tentang apa yang terjadi di sekolah saat ia tak ada. Aku menceritakan banyak hal padanya, tapi tidak dengan rumor dan gosip tentang dirinya yang mencoba bunuh diri.

Keesokan harinya, dan lusa serta hari-hari berikutnya, ia benar-benar tertutup pada segala hal dan semua orang. Kemudian pada suatu hari di belakang sekolah, ia akhirnya bercerita padaku. Dia mengatakan padaku bahwa setiap kata-kata kotor dan penuh kebencian yang dilontarkan orang tuanya padanya. Mereka menyebutnya bodoh dan tidak bersyukur. Aku mencoba menghiburnya namun kata-kataku lemah. Aku terdengar seperti anak kecil yang menceritakan sebuah dongeng. Tapi setiap kataku bermaksud untuk menghiburnya. Aku memintanya untuk berjanji tidak melakukan hal yang ia lakukan sebelumnya. Dia memberiku senyuman singkat dan mengangguk. Hari itu aku pulang dengan perasaan senang. Aku merasa senang karena aku tidak akan kehilangan dirinya. Aku menghabiskan sisa hari itu dengan melakukan hal lain. Akhirnya aku tidur nyenyak malam itu, setelah berhari-hari berjuang dengan insomnia.

Aku terbangun keesokan harinya dengan perasaan ceria. Aku bangun dari tempat tidur dan menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Aku berlari kecil menuruni tangga menuju ruang makan, untuk sarapan.

"Pagi eomma, pagi Appa!" Teriakku sambil melemparkan lambaian pada mereka. Mereka diam tidak menanggapi. Aku berhenti dan melihat mereka dengan rasa ingin tahu. Tatapan yang mereka tujukan padaku seperti mencemaskan hidupku. Aku merasa ada yang tidak beres.

"Apa ada masalah?" Tanyaku sambil menghentikan gerakan tubuhku. Aku memandang kedua orang tuaku bergantian.

"Salah satu teman kami, Sooyoung, dia memberi tahu kami sebuah kabar." Ibuku terisak.

"Ap-apa itu eomma?" Tanyaku lagi, kata-kataku mencampuradukan rasa takut kali ini. Ibuku menutup mulutnya dengan tangannya dan berbalik dariku, sepertinya ia.... menangis.

Lalu ayahku bicara, "Sooyoung datang pagi ini dan mengatakan bahwa..." dia mengeluarkan desahan keras yang menggema di lantai bawah rumah. "Katanya, Wendy... bunuh diri... dia bunuh diri tadi malam."

Waktu saat itu seakan berhenti, hampir seolah ada yang menekan tombol jeda. Aku berpikir ini tidak mungkin terjadi. Dia telah berjanji padaku. Aku tidak percaya, aku tak bisa mempercayai ini. Aku membuka pintu depan dan memeriksa lingkungan sekitar. Ada beberapa mobil yang terparkir di depan rumah Wendy. Kami tidak tinggal berdekatan, tapi cukup dekat bagiku untuk melihat keadaan rumahnya. Lingkungan sekitar rumahku cukup luas sehingga mudah untuk melihat setiap rumah yang ada dari tempat tinggalku. Mobil-mobil di luar rumah Wendy cukup banyak sehingga meyakinkanku bahwa apa yang dikatakan oleh orang tuaku itu benar. Aku merasa gagal. Aku tak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkannya. Atau lebih tepatnya, aku sudah terlambat ketika mencoba untuk menyelamatkannya

Pikiranku kacau begitu lama setelah kejadian itu. Butuh waktu tiga tahun untuk mengembalikan hidupku ke jalur semula. Masalah tidurku semakin parah dari sebelumnya. Aku bahkan harus minum obat tidur untuk membantuku tertidur.

Akhirnya aku mendorong diriku untuk melanjutkan kehidupan ini seperti biasa. Aku menghargai waktu yang kuhabiskan bersamanya, walaupun begitu, aku harus bisa menerima apa yang sudah terjadi. Akhirnya aku bergabung dengan beberapa klub olahraga di sekolah untuk menjernihkan pikiranku, dan mengalihkan pikiranku pada tragedi tersebut. Aku bergabung dengan klub renang dan sepak bola. Di antara keduanya, aku lebih handal dalam sepak bola, tapi berenang lebih efektif membersihkan pikiranku. Aku menjadi pemain andalan dalam tim sepak bola karena kemampuan yang kumiliki. Dengan cepat aku mendapatkan ketenaran di sekolah karena hal itu. Aku mendapat banyak teman baru, yang kumiliki sekarang ini. Mereka sangat berisik dan menyebalkan. Tapi mereka tetaplah temanku, yang memberiku harapan baru dalam menjalani hidup.

TBC

Wounds Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang