Bab 9

961 67 2
                                    

Bab 9

Aku memijakkan kaki ke atas sebuah batu. Di ujung bukit. Mataku menelusuri pohon-pohon yang menjelma lautan dedaunan. Aku menghirup angin malam yang segar, seperti aroma daun ketika kau merobeknya. Angin malam membelai kulitku, bermain dengan rambut pirangku. Simfoni jangkrik, burung hantu, dan hewan lainnya mengusik pendengaranku. Anehnya, semua itu tidak terdengar mengganggu sampai puluh lolongan muncul.

Mataku yang tadinya menikmati pemandangan malam, kembali waspada. Benakku terjaga dan aku menghiraukan simfoni yang terus mengalun. Sesuatu yang bersinar tertangkap di sudut pandangku. Aku segera menolehkan kepalaku ke arah Barat Laut. Aliran sungai yang diterpa sinar rembulan, memukauku sesaat. Indah dan bersinar. Sungai Perak. Bagaimana sesuatu yang begitu mempesona sedari tadi menyembunyikan keindahannya?

“Aku menemukannya!” aku berseru. Tangan kananku terentang ke arah sungai, menunjuknya. “Barat daya.”

Marcus menghampiriku dan menawari tangannya padaku. Aku mengernyit, bersikap waspada. Aku meneliti raut wajahnya. Tenang dan pasti. Tapi, ia bisa menyembunyikan apa saja dengan ketenangannya itu. Mungkin, ia mencoba membunuhku—mendorongku dari batu ini.

            “Apa? Kau mengharapkan tanganku menyemburkan racun?” Marcus balas menatapku dengan sengit.

            Aku masih berdiri di tempat. Teguh dengan pendirianku untuk tidak menerima tangannya. Kemungkinan ia membunuhku begitu besar—namun, kemudian muncul pertanyaan ini di benakku; kalau ia memang hendak membunuhku, ia bisa melakukannya sedari tadi. Saat di kota sudut kerajaan. Saat baru saja memijakkan kaki keluar dari kerajaan. Semua saat. Namun, ia tidak membunuhku. Apakah ia sedang melakukan sebuah permainan? Atau, ia memang tidak berniat membunuhku?

            Aku melirik kepada Alfred yang terduduk di bawah pohon. Mustahil Marcus akan membunuh Alfred. Aku, jelas-jelas, adalah sasarannya.

            “Aku bisa turun sendiri. Jangan meremehkan aku,” aku menolaknya. Dua alasan; takut terbunuh dan merasa diremehkan.

            Marcus menghela napas berat. “Turun, Astrid.”

            Caranya menyebutkan namaku, membangkitkan suatu gelora yang telah lama padam. Ini adalah kali pertama aku mendengarnya mengucapkan namaku. Degup jantungku berdetak begitu kencang. Berdentum, hingga pekak telingaku. Aku takut ia mendengarnya.

            Aku lebih takut akan kematian yang kelak ia antarkan.

            Tapi, aku sudah tidak memikirkannya lagi. Pikiranku berkabut. Momen yang dulu pernah kurasakan bersamanya berkelebat. Aku menerima tangannya. Berawal ragu, dan ketika kuraih telapak tangannya yang besar, itu bagai lagu. Lagu; menghibur dan menyenangkan. Kehangatan tangannya terasa menyenangkan.

            Marcus menggenggam tanganku erat. Mata legamnya berkilat, bertaburkan cahaya rembulan. Indah. Bahkan lebih indah dari Sungai Perak yang membelah Hutan rembulan. Jikalau kaum malaikat ada, aku yakin ia adalah salah satu keturunannya. Dan malaikat itu membawaku turun ke dalam pesonanya. Semakin dalam. Semakin turun.

            Ketika wajahku sejajar dengan wajahnya, apa yang kurasakan adalah panas. Seakan-akan batu bara dibakar demi memacu jantungku cepat. Aku dapat menghirup udara yang dihirupnya. Aku melihat apa yang ia lihat; aku. Aku bertanya-tanya mengapa aku mampu menerawang kegelapan matanya, melihat aku di sana.

Tapi, itu bukan masalah.

“Mudah, bukan?” tanyanya.

Aku mengedikkan bahuku, mengangkat daguku sedikit. Memperkuat pertahananku. Berjalan menuruni bukit, meninggalkan kehangatan yang sesaat kurasakan. Itu tidak pantas dikatakan mudah. Sulit.

Born of FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang