Bab 12

812 65 10
                                    

Bab 12

Ketika cahaya lurus setajam pisau itu datang, mataku mencelak. Aku terbangun, namun belum sepenuhnya bangkit. Kepalaku sungguh berat; aku telah berusaha sekuat tenaga mengangkatnya mengingat pipiku yang ditindihnya. Mendengar jatuhnya tetes air (beserta cicitan tikus yang bisa kuasumsikan itu adalah air selokan) di belakangku, kusadari bibirku kering dan dahaga murka. Sesuatu—serangga, entah spesies apa—mendarat di permukaan jins tipisku. Biasanya, aku akan segera mengusirnya, tapi aku malas bangun atau menggerakkan sedikit anggota tubuhku.

Aku ingin merebahkan diri. Di atas ranjang kamarku di Ethan. Merasakan aroma bunga meresap melalui kedua lubang hidungku. Merentangkan tangan dan berguling ke sana kemari, lalu diam, memeluk bantal. Membiarkan nyaman melingkupiku sebelum akhirnya tidur menaungiku. Lalu, aku akan bermimpi indah atau sebaliknya. Tapi itu bukan masalah. Aku hanya ingin mendapatkannya kembali; ranjangku, rumahku, desaku, hidup lamaku,

pamanku.

Tubuhku bangkit tatkala cahaya itu mendekat, merunduk, dan memegang tanganku membawa kebebasan. Aku yang tak dapat berpikir rasional sehabis bangun tidur, nyaris berpikir bahwa apa yang dihadapanku ini adalah malaikat. Tulang pipi yang tinggi. Mata kucing yang mempesona nan licik. Jemari langsing panjang. Rambut lembut menyapu pergelangan tanganku.

Saking cantik kaum para peri (khususnya elf), aku hampir saja berpikir opsir penjara sebagai malaikat. Dan omong-omong cahaya yang sedari tadi kuungkit, itu adalah elemental cahaya yang ia bawa. Lebih seperti obor daripada elemental. Semoga saja si cahaya tak tersinggung dan membakar mataku dengan kuasanya.

Sang opsir berdiri dan memandangku yang berada tepat di samping kakinya. Aku menggeram, aku merasa direndahkan. Tanganku meraih pinggangku, mencari-cari senjata; aku hendak menebas pergelangan kakinya dan menyaksikan wajah anggunnya penuh kesakitan. Tapi, aku mengurungkan niat ketika menyadari pinggangku kosong. Benar juga, senjataku telah dirampas oleh mereka.

Jadi aku hanya bisa menunggu dengan enggan apa yang hendak dikatakan sang opsir. Otak dan hatiku seakan berperang, menunggu sang opsir. Benakku berkata sederhana, hajar saja dia. Tapi, hatiku menenangkan, jangan, katanya, kebanggaan telah menjadi penyakit yang diidap para elf sebelum dunia ini dibentuk, sabar saja. Penyakit yang tak ada obatnya, ejekku pada detik mataku mendapati telinga runcingnya bergerak samar.

“Kau dibebaskan atas perintah Yang Mulia Putri Mahkota Titania dari Mahkamah Eldrich1,” umumnya dengan nada monoton. Aku bergidik. Suaranya mengingatkanku pada pintu besi di Divisi Blasteran.

Aku mengerang. “Aku bahkan tak melakukan kesalahan apapun dan aku dipenjara. Sekarang, aku dibebaskan. Sebenarnya apa mau kalian?”

“Para pixie tidak pernah menyukai Blasteran, kau tahu. Jadi, ketika kau menangkap sang putri, mereka segera memukulmu ke alam bawah sadar dan membawamu ke penjara dengan tuduhan; penculikan putri,” jelasnya. “Putri Mahkota menanti kedatanganmu di lantai dasar penjara.” Sang opsir berjalan tegak menuju pintu berkarat penjara dan membukanya lebar. Sejenak, aku heran, mengapa aku tidak menghancurkan besi itu saja tadi? Aku bisa menghirup udara segar lebih cepat dari seharusnya. Menyaksikan matahari menyinari pupilku. Bukannya meringkuk di penjara, diserang kilas balik ingatan. Ingatan ayah.

Aku menopangkan tubuh, bertumpu pada kedua siku yang ditekuk di atas lantai berlumut penjara. Gerak yang kulakukan pada pinggangku menular ke sepenjuru kakiku. Sejurus kemudian, aku telah berdiri. Kedua tangan mengepal di sisi tubuh, punggung tegak, mata yang pandangannya sedikit buram, namun tak mengandaskan keteguhanku di kedalamannya. Tapi, di atas semua itu, aku mengangkat daguku angkuh, berniat menandingi keangkuhan sang opsir. “Jadi, tujuanmu membebaskanku adalah untuk memindahkan sel penjaraku ke lantai lebih bawah,” ujarku sinis sembari memutar bola mataku. “Bagus.”

Born of FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang