Bab 4

1.1K 75 1
                                    

Bab 4

            Bila Georgia dibandingkan dengan ibukota kerajaan, Alans, kota di barat Ethan itu tidak ada apa-apanya. Alans adalah kota yang modern dan teratur. Putih dan bersih. Dari atas, kota ini berbentuk bundar dengan istana kerajaan sebagai pusatnya. Setiap kali aku melangkah, kota itu akan mengekspos kemajuan bidang teknologinya. Robot pembersih jalanan. Tempat sampah berkeliling. Kapal layang yang berdesing meluncur tanpa mengeluarkan suara bising ataupun asap. Gedung-gedung pencakar langit yang berlapis kaca. Dan yang terakhir, istana kerajaan yang tampak mengambang dari tempatku mendarat, di terminal kapal layang.

            Istana itu cantik, megah, serta modern tanpa menghilangkan kesan antiknya. Putih, seperti bangunan lainnya, tapi mengkilat. Mungkin warnanya platinum, bukan benar-benar putih. Banyak kapal layang yang datang ke istana, dilahap lubang yang membuka dan menutup secara otomatis. Bangunan itu sudah lama ada, namun dipermak sebagaimana rupa, mengikuti perkembangan zaman. Aku kagum betapa arsitektur Alansberg menghargai masa lalu.

            Aku menaiki tangga berlapis karpet mewah menuju gerbang utama istana. Aku melangkahkan kaki berhati-hati, takut mengotorinya dengan kakiku yang telanjang. Orang-orang yang meramaikan istana, memelototiku. Tidak ada lagi yang berani menatapku setelah aku balik memelototi mereka. Hatiku bersorak senang. Menang.

 Ketika kupikir Marcus akan masuk melalui gerbang utama, ia berbelok ke kiri, mengelilingi bangunan. Marcus menuruni tangga melingkar putih yang kecil dan sempit. Dalam perjalanan menuju ke bawah, aku tidak melihat apapun tapi putih tanpa batas yang membawa kami semakin ke bawah. Aku sempat berpikir Marcus telah menipuku.

            Tenggorokanku tercekat. Pada anak tangga yang terakhir, aku tidak melihat apapun tapi dinding putih. Jalan buntu. Aku berbalik, langsung naik ke anak tangga kedua. Tapi usahaku sia-sia. Lengan Marcus membungkus tubuhku. Melarangku untuk kabur darinya, merasa berani dan rasional. Lengannya mendekap pinggulku erat, menarikku ke arahnya. Punggungku dapat merasakan dada bidangnya begitu kokoh di balik pakaiannya. Napasnya berhembus di atas rambut pirangku, mengirimkan getaran yang tak dapat kucegah ke sekujur tubuh. Hanya wanita bodoh yang tidak akan terangsang oleh tindakan persuasifnya.

            Marcus meletakkan satu telunjuknya di atas bibir sempurnanya. Sejenak, benakku mengilas balik ciuman yang kami lakukan di ujung jalan yang gelap. Tidak kuasa aku membayangkan kembali bibir seksinya di atas bibirku. Lidahnya membelai mulutku. Seakan pemantik api tertanam dalam diriku, tubuhku memanas.

Lalu, suara berat Marcus menyentakkan aku dari alam bawah sadar. “Marcus. Div-Blasteran no. 0068.” Perlahan bingkai pintu timbul dari dinding putih. Mataku membelalak menyaksikan kejadian tersebut. Marcus meluruskan sebelah tangannya—tangan kiri—, merentangkan telapaknya pada pintu. Tangan kanannya, diam, tidak beranjak dari pinggulku.

“(bahasa latinnya pintu kepada cahaya, membuka lah!”

            Pintu itu membuka dan aku melangkah masuk, berada pada puncak anak tangga yang lain. Aku tidak percaya dengan apa yang terbentang di hadapanku. Sebuah aula yang besar. Atau, mungkin lebih tepatnya disebut ruang latihan. Dindingnya hitam, kontras dengan warna luar bangunan ini. Jendela panjang yang hampir menutupi seluruh permukaan dinding terdapat pada sisi kiri dan kananku. Cahaya mentari menyinari ratusan orang yang sedang berlatih. Bermain pedang, memanah, menembak dengan senapan, memakai tombak, bela diri, kamuflase, keseimbangan diri, dan masih banyak lainnya.

            Melihat kedatanganku, mereka berhenti berlatih. Mereka semua menatapku datar. Keapikan wajah mereka mempesonaku beserta tangan yang mantap memegang senjata. Seakan-akan mereka memang terlahir untuk berperang. Semua memiliki ekspresi dan raut muka yang sama, galak dan terluka dan tangguh. Dibalut mengenakan pakaian serba hitam, mereka menonjolkan otot masing-masing. Aku meneliti mereka satu persatu. Tidak ada wanita pendek dan tidak ada pria kurus. Mereka semua proposional dan cacat. Luka berjajar di tubuh ataupun wajah mereka. Aku tidak yakin apakah itu merupakan tanda perlawanan atau perjuangan. Namun, satu hal yang aku ketahui: menyadari banyak orang lain sekuat Marcus membuatku bergidik ngeri. Aku masuk ke dalam lubang singa.

Born of FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang