Bab 3

1.8K 83 1
                                    

Bab 3

          Aku berlari tanpa henti melewati Hutan Adoles di barat Ethan menuju Kota Georgia. Bibirku kering dan pecah-pecah. Telapak kakiku terluka oleh sabetan reranting tajam. Lenganku tidak lagi mulus. Gaun tidurku hangus pada ujungnya. Wajahku berkeringat, hitam karena abu, dan cokelat oleh lumpur yang menyiprat ke wajahku. Aku berantakan.

            Tapi, aku tidak peduli. Tujuan utamaku sekarang hanya satu; selamat. Ini adalah salah satu alasan mengapa aku tidak mengistirahatkan diriku sejenak. Aku takut pria itu atau siluman lainnya menyerangku dan meninggalkan tubuhku termutilasi di tengah hutan. Dan mengingat aku tidak membawa serta belati atau pedangku, gagasan beristirahat terdengar mengerikan.

            Aku menghela napas dengan lega. Begitu sakit melakukannya sampai-sampai kedua mataku berair. Aku sampai di Georgia dengan selamat. Sepenuhnya terluka. Sepenuhnya letih. Di sisi lain, aku bersyukur.

            Langkah kakiku maju tanpa ragu, memasuki Georgia yang sederhana. Dari luar, kota ini memang tidak ada bedanya dengan Ethan. Namun ketika kau menelusuri kota ini lebih dalam, kau akan menemukan bangunan-bangunan tinggi yang sama sekali tidak kau temukan di Ethan. Tidak banyak perubahan yang terjadi sejak kunjungan terakhirku ke sini, empat tahun lalu.

            Aku mendekati sumur di pinggiran kota yang sejak dulu tak pernah berubah. Letak yang sama. Struktur yang sama. Keasrian yang sama. Kenangan yang sama. Aku masih ingat, empat tahun lalu, ketika aku dan paman menimba air untuk diberi minum kepada tiga ekor sapi yang kami bawa dari desa. Pada akhirnya, ketiga sapi itu disembelih untuk merayakan festival menyambut musim panas. Sejak saat itu, paman tak pernah lagi berniat menternakkan hewan apapun.

            Terlihat seorang pria tua dengan lengannya yang keriput sedang menimba air. Aku berhenti melangkah, membantunya menimba air. Pria itu tersenyum, mata birunya menyipit dan kerutan di wajahnya bertambah. Aku balas tersenyum sebelum pria itu pergi dengan dua buah ember di masing-masing tangannya, meninggalkanku.

            Kubawa ember kosong ke dalam sumur. Tanganku menarik sekuat tenaga tali pada katrol, menarik ember itu ke mulut sumur. Saat air segar membasuh wajahku, aku seakan hidup kembali. Aku mencuci lengan dan kakiku, berhati-hati untuk tidak membasahi gaun tidurku. Satu-satunya pakaian yang kumiliki—untuk saat ini.

            Perlahan kelopak mataku membuka setelah aku membasuh wajahku untuk yang terakhir kalinya. Kakiku berjalan meninggalkan sumur menuju pasar Georgia. Seingatku, setiap musim di Georgia akan diwarnai dengan suara ricuh pasar di pusat kota. Berbagai pedagang menjajakan barang jualannya di sana. Mulai dari makanan, barang antik, karya seni—dan pakaian.

            Jantungku berdebar kencang ketika pasar yang kumaksud terbentang di hadapanku. Suara tawa, marah, dan ramah orang-orang terbawa angin menggelitik telingaku. Asap dari tembakau dan beberapa makanan bakar menyatu, memasuki penciumanku dengan sensasi aneh. Orang-orang bahkan tidak menghiraukan aku yang memakai gaun tidur di tengah-tengah kota pada siang hari. Kesibukan akan hal-hal di sekitar mereka membuatku merasa nyaman. Tidak akan ada yang mencemoohku dengan pandangannya.

            Kusadari, aku mudah tersinggung.

            Detik berikutnya, aku membaur dalam kerumunan orang. Aku mengikuti arus kerumunan ke tengah-tengah pasar. Setelahnya aku menyelinap dan mengendap-endap di antara orang, mendekati sebuah gantungan banyak pakaian yang tidak dijaga oleh si pedagang. Aku berjalan santai semampuku ke arahnya walaupun rasanya perutku sehabis dipelintir, sungguh gugup. Aku menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang memperhatikanku. Syukurlah mereka fokus hanya kepada kesibukan masing-masing.

Born of FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang