Bab 11

721 62 4
                                    

Bab 11

            Tetesan air yang jatuh beradu dengan genangan membangunkanku. Aku membuka kelopak mataku susah payah. Kakiku bergerak perlahan, berayun ke sana-sini, berusaha mencari tempat pijakan. Tapi, kudapati lantai busuk yang menjadi alas tidurku sekarang. Mataku membeliak dan aku lekas duduk.

            Aku memandang sekitar, meneliti. Kendati mendapat penerangan samar dari lilin atau apapun itu, aku sanggup menyimpulkan dinding sempit serta jeruji besi yang mengurungku. Aku dipenjara. Aku menarik kakiku, hendak berdiri, ketika kudengar bunyi besi terseret. Kutolehkan kepalaku ke belakang. Aku dirantai. Pintar.

            Aku mendekatkan lututku ke dada dan mengerang. Memejamkan mataku, aku berupaya mencerna apapun yang telah kulewati. Apa yang terjadi hingga aku dipenjara? Aku ingat tembok yang runtuh. Aku ingat para pixie. Aku ingat mata itu. Aku ingat semuanya dan aku yakin seratus persen bahwa aku tidak melanggar hukum.

            Tanganku bergerak sepanjang pahaku dan meraba kantung celanaku. Berharap senjata-senjata yang kupersiapkan dari Divisi masih utuh dan berjajar aman di balik pakaian. Betapa naifnya aku. Patroli pasti menggeledah diriku terlebih dahulu sebelum memasukkanku ke penjara. Mereka tidak akan membiarkan seseorang bersenjata dipenjara.

            Mengingat kemungkinan senjata jarahan akan disumbangkan ke markas militer kerajaan, perasaan lega menyusup ke sudut hatiku. Untung saja aku tidak membawa pedang pamanku saat kejadian itu berlangsung. Aku meninggalkannya di bawah tumpukan jeramiku. Aku hanya dapat berdoa semoga saja penjaga istal unicorn tidak menjual pedang itu ke pasar.

Bukan berarti aku tidak mengkhawatirkan senjata-senjata lainnya. Aku mengkhawatirkannya, sungguh. Entah kenapa, mereka seakan-akan menjadi bagian dari diriku. Walau pada awalnya, berat baja begitu asing direngkuh ototku, sekarang aku menjadi terbiasa. Terbiasa akan segala hal yang tak lagi sama. Identitasku. Kehidupanku. Takdirku.

Aku pun mulai terbiasa dengan sebutan blasteran yang merujuk padaku. Bukan karena aku sudah menerima kenyataan itu. Tapi, karena aku tahu bahwa menolaknya dengan tegas tak dapat mengubah apapun. Berkata tidak pada kenyataan yang melekat itu tidak menjadikannya tiada. Justru ia membuktikan eksistensinya dengan siasat lain.

Oh, apa ini artinya aku mengakui diriku sebagai blasteran naga? Anak dari Perseus? Entahlah. Aku mungkin mampu menerima identitasku sebagai blasteran naga. Namun, menjadi anak dari seseorang yang telah menelantarkanku sejak kecil, terlampau sulit.

Perseus. Nama itu merupakan sanjungan dan keagungan, di dalam dan luar kaumnya. Tidak hanya menjadi seorang jenderal naga yang hebat, Perseus pernah, bahkan sering, memukul balik ancaman dan serangan para pasukan kegelapan. Dan bukan hanya itu, Perseus juga pandai menyembunyikan fakta dari putrinya sendiri. Blah.

Pamanku itu juga tidak ada bedanya. Belakangan, kuketahui bahwa paman adalah sepupu ayahku. Namanya bukan George Tisdale. Namanya Percival Fireborn. Salah satu perwira tinggi Suku Naga Gunung Utara, kampung halaman Perseus. Tidak heran, setiap bulan pamanku pergi mendatangi sidang yang katanya penting itu. Aku mendengus. Bilang saja kau akan menghadiri acara perkumpulan-makhluk-pengembus-api-mu itu.

Telingaku menyambut ketukan sepatu pada lantai penjara di Baratku. Menggema dan terdengar jauh. Namun, aku tahu, entah bagaimana, si pejalan semakin dan semakin merapat, mendekat. Mungkin saja itu salah satu opsir penjara. Mungkin saja ia akan membebaskanku. Aku tersenyum penuh harap.

Sosok itu melintas perlahan di hadapanku. Tubuhku terbuncang, ekspresi antara kejut dan senang. Aku kenal pemilik rahang keras itu. Rantai yang membelengguku bergemerincing agak nyaring. Pria itu berhenti, barangkali mengistirahatkan tungkai panjangnya. Marcus menolehkan kepalanya ke arahku. Dan aku tahu saat itu benarlah dugaanku.

Dia Marcus. Dalam remang cahaya para elemental api (atau cahaya, aku tidak dapat memutuskan mana yang benar), aku tahu itu dia. Mata hitamnya, hidung lurusnya, bibirnya yang penuh, tubuh bedegap dan bahunya yang lebar. Aku mengenalinya. Itu Marcus. Ia akan menyelamatkanku. Ia mencariku. Harapan dan dambaanku begitu tinggi rupanya.

“Mar—“

Belum selesai aku berkata, aku kembali mengatupkan mulutku. Sesuatu dalam diri Marcus menyiratkan perbedaan. Bukan cara matanya berkedip. Bukan juga cara rahangnya menutup. Tapi, sesuatu tentang raut wajahnya. Wajahnya memilukan sekaligus mengerikan, seakan-akan telah lama hidup di dunia ini. Marcus biasanya terlihat haus darah, namun tak pernah semengerikan ini. Tatapanku nanar, seakan melihat singa raksasa.

Bibirnya membentuk satu garis tak menyenangkan. Jantungku bagai merosot dari rongganya. Harapanku diserbu kenyataan. Ia berjalan melewatiku dan menuruni suatu tangga. Langkahnya membahana dan lama makin lama, hilang. Punggungku menyentuh dinding penjara yang berlumut. Napasku memburu dan tak lagi aku menghiraukan bau apak penjara. Kusadari, tanganku gemetar. Betapa menakjubkan Marcus, membuatku takut hanya dengan pandangannya.

Meski telah beberapa kali aku berhasil mengalahkan rasa takutku, kali ini ada suatu yang berbeda. Seakan-akan membunuhku tidak akan memuaskan baginya lagi. Apa yang membuatnya puas hanyalah menguasai dunia. Entah kenapa aku berpikiran demikian. Membayangkan dunia di bawah kendali Marcus, mengalirkan segelombang listrik ke seluruh tubuhku. Mengerikan. Aku merinding. Udara terasa begitu berat dan pekat, mulutku terpaksa megap-megap, mencari pelepasan serta ruang kosong.

Aku mendongak dan memejamkan mata. Meraup napas dan mengeluarkannya perlahan. Ini, biasanya, akan membantuku tenang. Dan benar terbukti apa adanya. Dentum jantungku melambat, menyamai ritme normalnya. Nyaris berdetak teratur sebelum akhirnya suara ledakan terdengar. Memekakkan telinga, suaranya menelisik masuk ke tulang-tulangku.

Ledakan itu melebihi suara kemunculan api iblis di Ethan, desaku. Ledakan yang didengar dari manapun akan ditelaah sebagai kiamat dunia. Apa ini benar kiamat dunia? Tidak takut, aku berdiri, berjeri payah. Terlalu banyak kejadian aneh yang membuatku bebal. Sebuah ledakan ini tidak akan menghalangiku. Aku menantangnya.

Suara melengking yang mengerikan, mendadak, pecah di dalam penjara. Dalam sekejap, para tahanan—tentara kegalapan—berseru. Berseru seperti sehabis perang. Mereka membanting-banting barang dalam sel. Mereka menghentakkan kaki. Mereka meninju dinding. Mereka mengekspresikan kemenangan dengan cara tersendiri. Suara gaduh itu membentuk suatu lagu yang terkesan mistis dan penuh ambisi untuk menghancurkan dunia. Aku bahkan nyaris berpikir tanah akan membelah.

Aku yang tadinya berdiri tegap, terhuyung-huyung. Kepalaku membentur dinding berlumut penjara. Suara itu mempengaruhiku. Suara penuh kebebasan dan menyayat hati. Menyayat hati dan sesuatu mengenainya menggelorakan memori ayahku. Dan serangan memori sama seperti perasaan pohon ketika rayap menggerogotinya. Memusingkan, kepalamu seakan dihujam beribu panah bertubi-tubi hingga kau tak lagi dapat merasakan gerak kepalamu.

Tapi, tak pernah separah ini sebelumnya. Lagu tragedi itu mengikis lapisan demi lapisan memoriku. Dengan paksa menarikku ke dalam memori penuh darah dan kegemparan banyak penduduk yang membantah kuasa sang iblis dimensi. Tapi sang iblis kuat, dengan sekali pecut, para pembangkang habis sudah. Menjelma makhluk yang tak mati, namun tak lagi hidup berserta anggota tubuh buntung mereka. Sang iblis tertawa di atas tahtanya. Itu neraka.

©akuorangindo

8-4-2014

Born of FireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang