Haeun sedikit berlari kecil. Langkahnya kecil namun cukup cepat untuk meraih alas kaki hitamnya.
Kedua kakinya kini lengkap dengan alas sepatu. Ia mengetuk ujung sepatunya dengan lantai agar kakinya dapat menggunakannya dengan benar.
Setelah meraih tas bahunya, ia kembali berdiri di depan cermin. Menatap tubuhnya dari atas hingga ujung kakinya yang dibaluti dengan alas.
Tubuhnya yang tengah dibaluti dengan seragam kerjanya, rok cokelat terang selutut dan kemeja putih yang ia gulung lengannya menjadikan kedua irisnya dapat melihat jelas tubuh rampingnya.
Haeun menepuk pelan seragam kerjanya sebelum tangannya kembali bergerak merapikan surai hitamnya. Ia melirik ke arah jam tangan pada pergelangan tangan kirinya. Pukul empat petang.
Setelah ia mengecek kembali penampilannya dalam pantulan cermin, tungkainya mulai melangkah menjauh dari unit apartemen miliknya. Ia menutup rapat daun pintu dan memastikan pintu tertutup dengan benar.
Haeun menarik napasnya dalam, menghirup pasokan udara untuk paru-parunya. Ia sedikit meregangkan bagian lengannya sebelum jam kerjanya dimulai.
Alas kakinya menciptakan bunyi yang sedikit bising saat bersentuhan dengan lantai. Haeun melebarkan langkahnya sebelum ia kehilangan kesempatan untuk masuk ke dalam kubus besi itu.
Pintu kubus besi itu perlahan menutup, menelan Haeun dan dua wanita paruh baya yang kemudian membawa tubuh mereka turun ke lantai bawah.
•••
Perjalanan menuju tempat kerjanya hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit. Dan Haeun tak perlu mengambil transportasi umum, ia cukup berjalan kaki untuk meraihnya. Selain menghemat simpanannya, juga sebagai olahraga singkat.
Sepatu datar hitam itu terus menginjak jalanan aspal, menciptakan langkah panjang nan lebar miliknya.
Kedua iris Haeun ia edarkan ke setiap sudut jalanan. Memandangi orang yang kembali dari kantornya, wanita paruh baya yang tengah berbincang, juga anak kecil yang terlihat begitu riang saat bermain di taman kecil kota itu. Haeun menarik kedua sudut bibirnya, sebuah pemandangan yang cukup damai sebelum ia berkutat dengan pekerjaannya.
Langkah Haeun berhenti tepat di depan orang-orang berdiri. Setelah lampu pejalan kaki berubah menjadi warna hijau, Haeun ikut membawa tungkainya bersama orang lain untuk menyebrang.
Ia kembali melangkahkan kakinya menuju cafe yang tidak terlalu besar, dengan papan nama bertuliskan 'HOLLY'S CAFE' pada atapnya.
Tangan gadis itu bergerak mendorong perlahan pintu kaca. Ia mengubah posisi papan persegi yang tengah menggantung menjadi 'Yes We're Open'.
"Oh, Jiwoo unnie!" (Kakak)
Senyuman pada wajah Haeun kian melebar tatkala maniknya tertuju pada wanita yang juga sedang memandanginya. Wanita itu membalas senyuman Haeun.
Haeun berjalan menghampiri Kang Jiwoo, seorang wanita yang berumur 24 tahun, teman sekaligus orang yang ia anggap kakak selama Haeun bekerja paruh waktu.
Haeun banyak bercerita pada Jiwoo, dari hal kecil seperti ia salah membeli barang, hingga masalah-masalah yang tengah ia hadapi. Karena Haeun percaya, bahwa Jiwoo dapat menjaga rahasianya maupun ceritanya yang sedikit tidak berguna untuk didengar. Bahkan semalam, ia menelpon Jiwoo hanya untuk menceritakan bagaimana kisah liburan singkatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Feeling
FanfictionSeperti ia membawa dirimu masuk ke dalam dunianya, begitulah yang dirasakan oleh Kim Haeun kala kedua maniknya bertemu dengan manik hitam jelaga pemuda tersebut. Rasanya, napasmu tercekat beberapa kali, bahkan tubuhmu refleks membeku tatkala bibir...