Samar-samar Haeun dapat mendengar satu helaan napas berat keluar dari bibir milik Jeon Jungkook.
Ia lantas merotasikan matanya sebelum menoleh dan mendapati Jungkook dengan kedua mata yang terpejam rapat. Haeun kembali melemparkan punggungnya pada sofa, ikut bersandar di sebelah tubuh pemuda bersurai hitam tersebut.
Keheningan menyelimuti mereka cukup lama hingga pertanyaan dari bibir Haeun kembali terdengar. "Tapi Jungkook, kenapa Namjoon mengganti sandinya?"
Jungkook mendesah berat sekali lagi. "Ia ingin aku tinggal di rumah."
"Nah, kau bisa tinggal di rumahmu 'kan? Setidaknya hanya sampai Namjoon hyung kembali."
"Tidak bisa." Jungkook telah membuka matanya dan kini ia menggeleng ringan. "Ada sesuatu yang membuatku tidak ingin tinggal di rumah."
Haeun sejujurnya ingin mengetahui perihal 'sesuatu' yang Jungkook ucapkan tersebut. Namun ia tidak ingin terlihat seperti orang yang sangat penasaran, sehingga gadis itu hanya mengerutkan kening seraya memikirkan 'sesuatu' tersebut. Barangkali tebakannya benar.
Sementara Haeun sedang mencari tebakan yang masuk akal, pemuda dengan surai serta iris hitam jelaga tersebut memandanginya sembari melipat kedua tangan di depan dada. Jungkook sendiri agak tidak paham kenapa gadis di pandangannya tersebut hanya diam dan menggerakkan bibirnya bagaikan sedang berbicara pada orang lain. Namun Jungkook tidak ingin menginterupsi, sehingga ia hanya menatapnya tanpa bersuara sedikit pun.
"Kau tidak sedang bertengkar dengan ibumu 'kan, Jungkook?"
"Astaga. Tentu tidak, Nona Haeun." Yang benar saja, Eun. Jika Jungkook sedang bertengkar dengan ibunya, mungkin wanita paruh baya tersebut tidak akan menghubunginya beberapa hari yang lalu. Dan beliau tidak mungkin bertanya tentang Namjoon, tugas kuliahnya, hingga kondisi tubuh Jungkook sendiri. Sebab, yang Jungkook tahu tentang bertengkar dengan ibunya adalah, Jungkook akan menutup mulutnya rapat-rapat selama 2 hari. Ia hanya akan bersuara jika sedang dibutuhkan. Dan, Jungkook memiliki kebiasaan buruk tersebut semenjak kecil.
"Kau yakin, ingin tinggal di sini, Jung?"
Astaga. Tidak bisakah Haeun mengizinkan Jungkook untuk tinggal di kediamannya hanya untuk beberapa minggu?
Dan, pening. Satu kata yang mewakili Jungkook detik ini. Kalau ia boleh jujur, berdebat dengan gadis tersebut sukses besar membuat kepalanya terasa pening, bagaikan di tinju berulang kali. Suaranya yang terdengar agak nyaring, dan bibir plum yang tidak henti melemparkan pertanyaan atau sebuah penolakan, semakin membuat kepala Jungkook terasa sakit dua kali lipat.
Semenjak pukul tujuh petang tadi, Jungkook ingin sekali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Dengan balutan selimut yang menjadikan tubuhnya hangat, dan mungkin dengan segelas cokelat panas. Namun realitanya sangat jauh dari yang ia pikirkan. Tidak ada ranjang yang empuk, selimut yang hangat, dan segelas cokelat panas. Melainkan presensi gadis dengan iris hazel tersebut, sang pemilik apartement.
Haeun sendiri juga tidak paham dengan dirinya. Otaknya menolak, namun benak hatinya berkata bahwa ia seharusnya mengizinkan Jungkook. Namun entah mengapa, mulutnya justru melemparkan belasan pertanyaan pada pemuda tersebut.
"Oke." Haeun pun menyerah. "Kau boleh tinggal di sini."
Kedua bola mata Jungkook berbinar-binar, hal yang dinantikannya pun telah terjadi. "Tunggu, kau mengizinkanku?"
Haeun menganggukkan kepalanya.
"Seharusnya kau mengatakan hal tersebut semenjak aku duduk di sofa ini, Eun." Jungkook kembali bersedekap, atensinya teralih pada langit-langit ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Feeling
FanfictionSeperti ia membawa dirimu masuk ke dalam dunianya, begitulah yang dirasakan oleh Kim Haeun kala kedua maniknya bertemu dengan manik hitam jelaga pemuda tersebut. Rasanya, napasmu tercekat beberapa kali, bahkan tubuhmu refleks membeku tatkala bibir...