Langit bertabur bintang gemintang menghiasi sepanjang perjalanan mereka. Cahaya redup rembulan ikut menemani, memberi sinar untuk dua insan yang tengah meniti langkah secara beriringan. Sepoi-sepoi angin malam tak henti berembus, membawa terbang dedaunan yang jatuh dari tempat asalnya.
Jungkook telah memarkirkan mobil kesayangannya dengan rapi. Dan lurus, tidak miring 3 derajat sedikit pun. Diikuti oleh Haeun, keduanya berjalan santai dengan kedua tangan yang penuh oleh kantung plastik. Suara gesekan alas kaki mereka berdenyit, pengisi keheningan sepanjang perjalanan selain serangga kecil yang tidak terlelap dan semak-semak yang tertiup angin.
Udara yang cukup dingin semakin membuat kelopak mata Haeun terasa berat, kedua kakinya mulai melemas, serta genggaman tangan yang mulai mengendur.
Pukul 12 malam lewat 7 menit. Sederet angka yang ia baca pada layar ponselnya. Jadwal tidurnya sudah lewat dua jam yang lalu. Haeun terbiasa tidur pukul 10 malam, terkecuali saat ia memiliki tugas, Haeun akan tidur pada pagi buta. Entah mengapa, kondisi tubuhnya hari ini terasa begitu lelah. Ia seolah mendengar suara rengekan dari dalam tubuhnya, meminta untuk beristirahat barang semenit pun. Kalau diingat-ingat, Haeun belum terlelap semenjak ia kembali dari kerja paruh waktunya. Ditambah presensi Jungkook yang membuat mereka berdebat selama 2 jam lebih, semakin menjadikan Haeun ingin merebahkan diri di atas ranjang.
Embusan karbondioksida dari bibirnya menimbulkan gumpalan putih, menghilang dengan cepat, dan terjadi secara berulang kali. Haeun benar, malam ini udara terasa menusuk tulang punggung. Ia mempercepat langkahnya, mendahului Jungkook yang masih berkutat dengan ponselnya. Ia menghiraukan panggilan pemuda tersebut. Sebab ia tidak ingin mati kedinginan di luar sana.
"Apa?" Tanya Haeun dengan nada sedikit ketus.
Jungkook mengerutkan alisnya, menatap Haeun dengan raut kebingungan. "Kau kedinginan."
"Uh. Kau tahu, Jung?"
"Hidungmu yang semerah tomat mengatakan begitu." Jungkook mengendikkan bahu, melirik sebentar pada hidung gadis tersebut. "Lucu."
Samar-samar Haeun dapat mendengar ucapan Jungkook beberapa sekon yang lalu. Bibirnya kembali berbicara sebelum pintu lift berdenting dan mengagalkan niatnya. Mengikuti langkah besar pemuda itu, Haeun masuk ke dalam kubus besi dan meletakkan barang belanjaannya. Kedua tangannya ia renggangkan ke atas, hampir menggapai langit-langit besi.
"Hei Jungkook, apa maksudmu dengan 'lucu'?" Ucapnya seraya merenggangkan otot tangan.
Jungkook mengalihkan pandangannya dari ponsel, lalu ia masukkan ke dalam saku celana dan menatap Haeun dengan sudut bibir yang melengkung tipis. "Bukan kau. Tapi hidungmu yang lucu," ujarnya.
Haeun refleks memberikan Jungkook tatapan tajam. Ingin sekali jari jemarinya mencakar pemuda tersebut. Tetapi tubuhnya menolak, sehingga yang ia lakukan hanyalah berdecak sebal sementara Jungkook terkikik.
Gelak tawa Jungkook memenuhi seisi kubus, bergema dan membuat Haeun merotasikan bola matanya beberapa kali. Pemuda bersurai hitam tersebut berhenti tertawa seiring dengan terbukanya pintu lift, kembali menenteng plastik dan melangkah tenang menuju apartemennya.
Ralat, apartemen milik Haeun.
Menghela napas panjang, jemari gadis tersebut bergerak memijit tombol angka pada daun pintu. Membuka pintu secara perlahan setelah mesin tersebut menimbulkan suara klik. Tetapi ketika ia sedang berusaha untuk membuka lebar daun pintu tersebut, timbuk gejolak aneh dalam benaknya. Entah apa, rasanya ada sesuatu yang janggal atau mungkin sesuatu yang buruk akan terjadi. Mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untold Feeling
Fiksi PenggemarSeperti ia membawa dirimu masuk ke dalam dunianya, begitulah yang dirasakan oleh Kim Haeun kala kedua maniknya bertemu dengan manik hitam jelaga pemuda tersebut. Rasanya, napasmu tercekat beberapa kali, bahkan tubuhmu refleks membeku tatkala bibir...