7. Dua hati meragu

47.6K 3.8K 139
                                    

happy reading

love yeahh

####

"Ma, Silva kok begitu, ya, Ma?" tanya Dimas saat San San menyuapinya. Silva sedang pergi ke kampusnya dan itu membuat Dimas merasa kesal dan terus memasang wajah masam sedari tadi.

San San terkekeh pelan. "Kenapa lagi Silvanya? Kamu ngeluh terus," ejeknya. Suasana hatinya sudah lebih tenang karena kondisi Dimas yang terus membaik. Hanya menunggu pemulihan. Selain itu, hilangnya ingatan Dimas juga tidak merubah banyak hal, malah mengembalikan sisi baik Dimas yang sempat hilang. Kembali menjadi Dimas yang perajuk, manja, dan pengadu.

"Silva kayak nggak cinta sama Dimas, Ma. Dimas sakit, dia kayak ogah-ogahan rawat Dimas. Masih ngotot mau ke kampus. Padahal, Dimas kan bosan kalau ditinggal sendirian. Apa jangan-jangan Silva dekat sama cowok lain ya, Ma, di kampus? Jangan-jangan Silva selingkuh. Dia nggak cinta lagi sama Dimas."

San San mengerutkan keningnya. Kali ini dia menatap mata anaknya itu. "Memangnya Dimas cinta sama Silva?" tanyanya menyelidik. Kata 'cinta' yang Dimas ucapkan cukup mengagetkan karena anaknya itu tidak pernah mengucapkannya sebelumnya. Seolah yang Dimas rasakan hanya karena keegoisan dan obsesi buta.

Dimas menganggukkan kepalanya dengan pasti. "Ya cinta, Ma." Ia kemudian tersenyum nakal. "Kalau nggak cinta, nggak Dimas perkosa. Nggak Dimas paksa supaya mau nikah sama Dimas."

San San terbatuk. Tidak menyangka Dimas akan mengatakannya sesantai itu bahkan saat sedang lupa ingatan.

"Ma, memangnya yang kasih izin Silva kuliah siapa?" tanya Dimas.

San San terdiam, bingung harus menjawab apa. Dulu, Dimas tidak pernah mengizinkan Silva melanjutkan pendidikannya ke jenjang universitas. Untuk menamatkan SMA-nya saja Silva harus membujuk Dimas. Itu pun dia hanya bisa melanjutkan sekolahnya dengan sekolah paket. Alasannya, tentu saja, agar Silva seutuhnya menjadi milik Dimas. Hanya menghabiskan hari untuk hal-hal yang berkaitan dengan Dimas.

San San tidak pernah menyalahkan Dimas atas semua perbuatannya. Menyesali nasib buruk Silva karena berurusan dengan Dimas, tapi dia juga merasa ikut andil dalam kesalahan itu. Terlalu banyak contoh yang tidak baik di rumah ini. Contoh yang Dimas dapatkan, termasuk dari San San dan Kris selaku orang tua, benar-benar buruk. Padahal San San sudah berusaha agar setidaknya, permasalahan rumah tangga yang pelik hanya terjadi pada dirinya, Erick, dan Brandon. Tidak pernah disangkanya bahwa dia harus terlebih dahulu menikahkan Dimas dibanding Ambar. Itu pun dengan cara yang tidak normal.

"Ma, kok malah melamun? Mama ada masalah?"

San San menggelengkan kepala, menggerakkan jemarinya, kembali menyuapi Dimas.

"Ma, siapa yang kasih Silva kuliah?" desak Dimas lagi.

San San tersenyum terpaksa. "Kamu," dustanya, hanya agar Dimas diam.

"Pasti Silva bujuk-bujuk Dimas, ya, Ma? Kalau enggak, mana mungkin Dimas kasih. Mending Silva di rumah aja kayak Mama sama Kak Eve. Jadi istri yang baik."

San San terkekeh. "Kakak kamu ikut suaminya ke kantor, bukannya di rumah aja," ralatnya.

"Ya kan nggak untuk kerja. Ikut ke kantor cuma supaya Kak Brandon bisa awasin Kak Eve. Supaya Kak Eve nggak kesepian. Itu kan karena Aska yang suka buat Kak Eve sedih. Untung Dimas nggak punya anak. Bisa-bisa Silva sama stresnya sama Kak Eve, kan Ma?"

San San menggelengkan kepalanya. "Anak itu, justru penyemangat bagi seorang ibu. Kamu tau kan kakak kamu fisiknya lemah sejak melahirkan? Yang buat dia semangat ingin sehat, ya, Aska. Bukan malah Aska yang buat dia sakit."

"Ah, Mama! Aska dibela, Dimas enggak. Mama nggak sayang sama Dimas!"

San San tertawa. "Kamu sudah jadi suami, kok masih manja?! Malu sama istri," ejek San San.

"Habisnya mau manja sama Silva, Silvanya cuek. Ma, nanti kalau Silva pulang, Mama bilangin ke Silva, ya, supaya jangan cuek sama Dimas? Kan dia pasti segan sama Mama. Kalau Mama yang suruh, dia pasti nurut."

San San tersenyum lalu mengangguk. Melihat betapa Dimas begituketergantungan pada Silva, San San menerka dalam hati, mampukah merekamenetapi janji untuk melepas Silva hidup bebas setelah Dimas sembuh nanti.Karena saat Dimas menginginkan sesuatu, dia akan terus berkeras sampai diamendapatkannya. Bagaimana pun caranya.


***

"Lo gila, ya, Sil? Tinggal di rumah mantan lo? Yang bener aja!" ucap Dina kaget.

Silva membuang napas panjang lalu mengangguk dengan wajah lesu. "Aku nggak ada pilihan lain, Din. Keluarganya maksa."

"Ya elah, Sil. Mau keluarganya yang maksa, mau satu Indonesia yang maksa, lo punya hak kali, sama hidup lo! Dia udah ceraiin lo, ya, berarti dia nggak ada hak lagi sama hidup lo. Apalagi keluarganya!"

"Kamu nggak tau keluarganya, Din. Mereka keras, dan kejam. Mereka nggak segan berbuat keji sama orang yang mereka anggap merusak kebahagiaan keluarga mereka. Aku takut bukan cuma aku, tapi keluarga aku kenapa-napa cuma karena aku nolak kemauan mereka."

Dina tertawa. "Biar aja. Sekalian tuh keluarga lo kena batunya. Mereka kan jahat juga sama lo. Mentang-mentang lo janda mereka nggak sudi nerima lo? Bukan salah lo kali, lo jadi janda. Dimasnya aja yang nggak bener. Lagi pula, apa lo nggak ngeri gitu, terlibat sama keluarga preman begitu?"

Silva mengangkat bahunya. Sebenarnya dia merasa malas menceritakan masalahnya pada Dina karena tau reaksi Dina akan seperti ini. Hanya saja, terlalu berat rasanya jika ia harus memendam semuanya sendiri. Apalagi sahabatnya itu terus bertanya kenapa ia sekarang terlihat lalai dengan kuliahnya, padahal perjuangannya untuk kuliah tidaklah mudah.

"Lo dinikahin pakai cara paksa, diceraikan dengan cara nggak terhormat, dan sekarang dipaksa balik dengan cara paksa lagi. Nggak lucu kalau lo yang udah jadi jandanya Dimas, kembali ditalak pas itu tuh, Neng April muncul."

Silva tertawa. "Bagus dong, kalau perlu talak tiga sekalian."

Giliran Dina yang tertawa. "Hayooo, sebenarnya lo harap ditalak tiga sekaligus biar Dimas mabok janda, 'kan?"

Kening Silva berkerut. "Mabok janda?"

"Iya. Lo nggak tau? Mitosnya, kalau ada cowok nalak tiga istrinya, tanpa mikir panjang langsung tuh nalak tiga, dijamin, nggak berapa lama dia bakalan menyesal dan mabuk kepayang sama mantan istrinya itu. Efek karma kali, ya? Kan kalau udah talak tiga nggak bisa lagi kecuali, yaaaa ... lo taulah kan, sang mantan harus menikah dengan orang lain dulu. Mungkin itu kali yang buat perasaan sang mantan suami lebih menggebu-gebu pengen balikan. Biasanya yang terlarang itu yang nikmat. Ya, nggak?" Dina mengerling nakal.

Silva tertawa lalu memukulkan bukunya ke kepala Dina. "Ngawur! Mana ada yang begituan!"

Mereka sama-sama tertawa. Dina adalah sahabat Silva satu-satunya. Dina yang menyemangati Silva untuk kuliah, juga yang mengajaknya bekerja. Dina menjadi satu-satunya orang yang menyemangati Silva saat ia terpuruk.

Sesudah bercerai dengan Dimas, Silva yang merasa dunianya runtuh kembali merasakan sakit hati. Bukannya menerima dan memberikan dukungan, orang tua Silva malah mengatakan dengan gamblang, tidak mungkin mereka menanggung Silva lagi. Silva sudah dewasa dan sudah pernah menikah. Jadi, jika Silva memutuskan berpisah dengan suaminya, maka ia harus siap dengan konsekuensinya yaitu menjalani hidup dengan perjuangannya sendiri. Itu sama saja dengan mengusir.

Silva tidak tau kenapa ia disalahkan. Memangnya seorang wanita tidakberhak marah jika suaminya, baik kaya ataupun miskin, sering pulang larutdengan mulut bau alkohol, sering bepergian dengan teman-temannya yang terkenalnakal, dan beberapa kali terdengar sedang berbicara dengan wanita lain saattengah malam?



NB

My amnesia ex-husbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang