3. Canggung

57.5K 4.4K 106
                                    

Kalau kalian lagi re-read, mungkin akan ada beberapa hal yang berubah karena udah aku revisi. :)



Selamat membaca


###


Brak!!!

Pintu ruangan terbuka paksa dan cahaya matahari masuk ke ruangan.

"Dimas!" teriak Hamdan, guru olahraga menghampiri mereka dan memisahkan penyatuan mereka.

Silva menangis lega karena akhirnya bantuan datang. Tapi, dia malu. Tubuhnya setengah telanjang, bahkan bisa dikatakan sudah benar-benar telanjang.

"Astaga," terdengar suara guru wanita yang Silva tidak bisa menebak siapa. Dia hanya memejamkan mata saat mendengar Dimas meracau melawan Hamdan dengan berteriak arogan.

Perlahan ikatan kaki dan sumpalan di mulutnya dilepaskan. Tubuh Silva ditutup dengan kain dan kemudian dia digendong oleh seseorang. Silva terus menutup matanya saat merasa tubuhnya dibawa ke tempat lain. Dia hanya berdoa bahwa semua itu hanya mimpi.

Namun, sayangnya semua itu nyata karena saat dia membuka mata, dia sudah berada di kamarnya dan saat ia berusaha bangun, selangkangannya terasa perih.

***

"Va, Silva," panggil Dimas.

Silva tersadar dari lamunannya kemudian menatap Dimas. "Apa, Mas?" tanyanya.

"Dy, panggilnya 'Dy'" ucap Dimas.

Silva menegang. Dia tidak menyangka Dimas akan mengungkit itu lagi.

"Va, aku lapar. Suap dong."

Silva menggaruk tengkuknya. Dia tidak siap untuk interaksi seperti ini.

"Biar Mama yang suap, ya ? Ya, Dimas ya? Silvanya kan sedang capek, Sayang," bujuk San San mendekati ranjang, meninggalkan sang suami sendirian di sofa.

Dimas memajukan bibirnya kesal. "Tapi, istri Dimas kan Silva, Ma!" protesnya. Benar-benar, Dimas sedang kembali ke mode Dimas saat mereka baru menikah. Manja dan menuntut serba dilayani oleh Silva.

"Katanya Dimas sayang Mama." San San berkata dengan gaya merajuk, seolah-olah dia sedang mengakali seorang anak kecil agar si anak mau mengalah karena tidak tega. "Lagi pula, habis ini Mama pulang, jadi Dimas berduaan sama Silva. Kali ini, Mama yang suap, ya?"

"Mama mau pulang?" Spontan, Silva bertanya. San San menjawab dengan senyuman terpaksa.

Dimas melirik Silva yang langsung mengalihkan pandangan, lalu mengangguk.

Silva ke kamar mandi saat San San sudah menyuapi Dimas. Dia membasuh wajahnya. Berusaha mengusir rasa penatnya, sekaligus memanfaatkan momen kesendiriannya itu untuk menarik napas dalam, karena berada di samping Dimas seakan membuat fungsi parunya berkurang.

Pintu kamar mandi diketuk, dan Silva langsung keluar dari kamar mandi.

"Mama pulang, ya," pamit San San. Kris yang berdiri di sebelahnya hanya mengangguk pelan.

"Terus Silva gimana, Ma?"

"Kamu di sini ya? Temani Dimas? Siapa tau dia butuh sesuatu?"

Silva menggigit bibirnya. Ini ide yang buruk sekali.

"Nanti akan ada orang suruhan Papa yang antar barang kebutuhan kamu."

Suara Kris membuat Silva terpaksa mengangguk.

"Maafkan Mama, Silva. Maafkan Mama," ucap San San memeluk lalu mengusap punggung Silva.

Air sudah menggenang di pelupuk mata Silva, tetapi dia menengadahkan wajahnya menahan tangis.

Apa gunanya menangis? Dimas tidak akan berhenti menyakitinya bahkan jika ia menangis darah.

Silva mengantarkan Kris dan San San sampai ke depan pintu, menarik napas dalam, lalu kembali menghampiri Dimas yang tampaknya sudah mengantuk.

"Butuh sesuatu?" tanya Silva canggung saat Dimas terus memandangnya tanpa kata. Dimas menggelengkan kepalanya lalu mulai memejamkan matanya.

Silva juga mengantuk. Dia memastikan Dimas benar-benar sudah tertidur lalu berjalan ke sofa. Dia membaringkan tubuhnya lalu memejamkan mata. Padahal dia besok ada kuis, entah dia masih bisa ke kampus atau tidak. Dan bagaimana jika Dimas tahu dia kuliah? Apa Dimas akan melarangnya? Mengingat saat mereka menikah dulu Dimas melarangnya kuliah. Lelaki itu hanya ingin Silva menghabiskan hari-hari hanya untuk dirinya saja. Sisanya tidak penting. Dimas menjadikan Eve juga San San sebagai contoh. Kedua wanita yang sangat memanjakan Dimas itu memang tidak kuliah.

***

Dokter sudah keluar dari ruangan setelah memeriksa Dimas. Silva menemani lelaki itu dengan perasaan gelisah. Sudah jam sembilan dan tidak ada keluarga Dimas yang datang. Artinya, Silva tidak akan bisa ke kampus. Rasanya Silva mau menangis. Lagi, Dimas menghambat masa depannya.

"Cincin kamu mana?" tanya Dimas.

Silva yang tadinya sedang melamun, mengerutkan kening. "Apa?" tanyanya ulang.

"Cincin kamu mana? Kok nggak dipakai?"

Silva menatap jari manisnya. Tentu saja dia tidak mengenakannya—begitu pula Dimas. Mereka kan sudah berpisah.

"Aku ... cincinnya ... kan cincinnya hilang, Mas. Kamu masak lupa, kan cincin aku—"

"Dy, panggilnya 'Dy'!" potong Dimas kesal.

Silva menoleh lalu menggigit bibirnya. Dulu, Dimas memaksa Silva memanggilnya 'Dy' bukan 'Mas' seperti panggilan semua orang. Alasannya agar nanti jika mereka memiliki anak maka panggilannya 'Mommy' dan 'Daddy'. Dan karena mereka belum memiliki anak maka Dimas memanggil Silva dengan 'Va', tidak seperti semua orang yang memanggilnya Sil. Intinya, Dimas ingin panggilan mereka satu sama lain berbeda. Spesial.

Tapi, Silva kembali memanggil Dimas dengan 'Mas' saat mereka sudah mulai sering berkelahi dan Dimas membiarkannya. Dia seolah tidak perduli lagi dan itu membuat Silva merasa canggung sekali harus kembali memanggil Dimas dengan 'Dy'.

"I–iya, Dy. Cincinnya ... kan cincin aku hilang makanya aku nggak pakai," gumam Silva pelan. "Kan kamu juga nggak pakai," tambah Silva dengan memaksakan tawanya.

"Aku pakai," sanggah Dimas pelan sambil berusaha mengangkat tangan kirinya yang hanya terangkat setengah, tetapi sudah terlihat oleh Silva.

Silva kembali mengerutkan keningnya.

Dimas memakai cincin kawin mereka?



NB

My amnesia ex-husbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang