Sebelas

2.9K 273 68
                                    

Levi mendecih. Waktu berduaannya diganggu oleh kehadiran sesosok guru dan makhluk bergender setengah-setengah.

Hening mengisi ruang antara mereka berempat, kala mata saling bertemu dalam keterkejutan. Begitu cepatnya hancur oleh suara menggelegar si manusia berkuncir kuda.

"Eerrrwiinnn! Kenapa lu nggak cerita-cerita kalau sekarang dia berani berduaan tanpa gua?!" protesnya sambil menunjuk dua sejoli di bawah pohon.

Levi langsung berdiri, ngerasa dirinya yang jadi bahan obrolan.

"Hanji... lu ngapain di sini?"

Erwin tahu Levi kesal karena waktunya diganggu, dilihat dari muka yang udah dipasang sesangar-sangarnya. Ia bermaksud untuk minta maaf nanti.

Namun tidak bagi seorang Hanji Zoe, satu-satunya orang berkacamata. Ia malah tertawa lebar dan terus menggodai Levi.

Sepertinya nggak ada kata "takut" dalam kamusnya.

"Gua ke sini ya buat nengokin lu lah! Sebagai teman baik yang udah lama nggak ketemu!" jawab Hanji sambil menepuk-nepuk pundak Levi.

"Perasaan gua nggak punya temen segila lu."

"Ih, kok jahad sih. Ga inget apa, sama usaha gua temenin lu pas lagi jaman-jamannya pacaran dulu?"

Mata Eren membesar. Kata-kata Hanji yang terlalu frontal membubarkan lamunannya. Barang yang sempat berdiri lemas seketika.

Jangan-jangan, dulu Levi-san pernah normal?

"Ngomong-ngomong, si Petra, sekarang berubah banget, tau! Kemaren gua ketemu sama dia di tempat pemancingan. Mau gua ajakin ke sini, dia malah nggak mau."

Eren berdiri tiba-tiba, ikut nimbrung. "Maaf... Petra yang disebut tadi siapa, ya?"

Entah kenapa, dia merasa harus bertanya secepatnya.

Perhatian tiga orang dewasa tertuju pada si remaja berpakaian pelayan. Pandangan mereka seolah baru menyadari kehadiran Eren di sana.

Erwin tersenyum. Langkahnya maju, mendekati pemuda Jaeger. "Maaf ya, kami malah ngobrol sendiri dan malah melupakanmu," ucapnya seraya melingkarkan tangan ke pinggang Eren.

"Ng-nggak apa, Sir. Saya yang seharusnya maaf, karena tiba-tiba ikut campur."

Eren membalas sambil berjalan mundur pelan-pelan. Wajah dengan garis rahang yang keras itu menampakkan ekspresi bersemu yang aneh.

Hanji menggebu-gebu, nafasnya menderu semangat. Levi tetap dengan wajah datar. Erwin berdebar-debar, terpesona akan kecantikan wanita jadi-jadian di depannya.

"Saya menyukaimu. Berpacaranlah denganku," akunya, menarik pinggang Eren.

"Eh, apa-apaan lu tiba-tiba nikung gua. Pacar gua itu," seenaknya Levi memotong.

"Lah ini pacar lu?"

"Lah lu nggak liat tadi dia berdua di sini sama gua?"

"Lah emang?"

"Lah iya. Lagian itu Eren yang lu tembak. Murid kelas lu."

Hanji menertawakan dari belakang. Eren gemetaran. Levi menatap setajam-tajamnya. Erwin masih nggak percaya.

Mata kehijauan itu memang khas seperti milik Eren. Pun tingginya, walau banyak orang yang memiliki tinggi seratus tujuh puluh senti.

Masih nggak percaya, Erwin permisi-permisi dulu sebelum menyentuh rambut panjang Eren. Kasar dan kusut teksturnya. Waktu diangkat sedikit ujungnya, ada rambut lagi yang dibungkus jaring-jaring hitam. Kali ini lebih halus dan nggak copot walau ditarik.

Janitor ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang