Tigabelas

2.6K 231 69
                                    

Levi berjengit kecil ketika pipinya menyentuh kulit dingin kaleng yang sengaja mendarat. Sapu lidi berhenti digerakkan, kepala menoleh sebal.

"Istirahat dulu gih. Abis tu lanjut lagi," Hannes berkata dengan senyum lebar.

Sebelum menerima tawaran, diliriknya kemasan berbalut kertas aluminium hijau tersebut. "Gua gamau mabuk di sekolah."

Pria berjenggot tipis-tipis terkekeh. "Kadar alkoholnya udah yang paling rendah kok, ini! Ah, jangan-jangan lu gampang tumbang?"

Kalimat yang terkesan meremehkan membuat Levi mendecih dan menerima traktiran Hannes. Mereka bersandar di tembok gedung samping sekolah.

Tak sabaran, Hannes membuka tutup, dilanjutkan mengambil sejumlah tegukan. Kemudian berakhir dengan hembusan nafas lega.

"Ahh... semuanya berjalan normal lagi ya, habis festival.... Akhirnya gua bisa nyantai."

"Halah. Kayak kerja aja lu," balas Levi seraya mengangkat tuas kaleng hingga terbuka.

"Lah gua emang kerja, ya. Emang lu, tiap hari ngegodain cowok ganteng yang terkenal itu. Siapa sih tuh, namanya...," Hannes mengurut pelipis.

Beberapa tegukan mengalir di kerongkongan si pria eboni. Selepasnya, ia mendengus.

"Jangan salahin gua. Eren yang nyamper duluan kok, tiap hari."

"Ah iya, namanya Eren! Fufu, padahal dalem hati pengen banget itu didatengin duluan."

Masi gua liatin dulu, Nes. Bentaran lagi juga gua tampol.

Bukan salah Levi merutuk. Lirikan jahil Hannes memang menyebalkan di saat itu.

"Ngomong-ngomong...," alkohol ia tenggak lagi, "Lu punya pacar nggak, Lev?"

"Punya."

Mata Hannes berkilat seketika. Ia langsung menyosor. "Eh?! Siapa?! Cakep nggak?!"

Jawab Levi, "Orang sini. Kata gua sih, cakep."

Mendengar pernyataan Levi, buru-buru Hannes menyodorkan permintaan untuk memperlihatkan foto. Levi nggak menyangka rekannya akan seantusias itu.

Tanpa bicara apapun, foto pemuda bersurai cokelat kemerahan bermanik hijau ia pamerkan ke depan hidung Hannes.

Senyum yang merekah perlahan menghilang. "Itu kan, foto Eren."

"Ya emang. Ini pacar gua."

Hannes menghela nafas, memijit pelipisnya. "Lu kenapa mau-maunya sama brondong, sih. Udah gitu cowok pula. Di luar sana kan, masih banyak cewek yang berkelas."

"Abis brondongnya menggoda. Gua nggak tahan."

Hannes memberi pandangan heran. Bisa-bisanya Levi bilang sesuatu yang frontal dan berbahaya dengan santai.

"Kok, lu—sebagai orang normal yang udah beristri—nggak kaget sih, gua suka sama cowok?" Levi ganti bertanya seraya mengambil beberapa tenggakan.

"Yah, gua sendiri juga udah sering mergokin pasangan humu di sekolah ini yang lagi berduaan."

"Emang ada lagi selain gua?"

Hannes mengangguk. "Ada. Ymir sama Reiss, Braun sama Hoover, Kirschtein sama Bott. Yang sering gua temuin sih, itu."

Levi kecewa. Yah, nggak jadi deh, jadi pelopor.

"Tapi... gua nggak nyangka si Eren yang itu belok juga. Selama ini gua kenal dia sebagai cowok normal."

"Eh? Lu kenal sama dia?"

"Kaga. Tapi liat aja. Dia kan, tiap hari dikelilingin cewek-cewek," Hannes menghabiskan sisa alkohol dalam kaleng, "Udah ah. Lanjut lagi, yuk."

Janitor ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang