Duabelas

2.8K 258 47
                                    

Berdalih mempromosikan kelas, Eren segera beranjak dari kursi. Dengan tangan membawa papan yang diberikan Bertholdt ia melangkah. Hampir saja ditinggalkannya Levi, sampai pria tiga puluhan itu menahan tangan Eren. 

"Levi-san."

Akhirnya si pemuda brunet membuka suara, setelah saling diam selama menyusuri koridor kelas. Yang terpanggil menyahut dengan tolehan sambil berdengung singkat. 

"Seandainya sekarang gua jalan di samping lu dalam wujud cowok, lu bakal malu nggak?"

Begitu mendadak dan cukup aneh untuk memecah keheningan antar mereka. 

"Kagak. Ngapain malu," jawab Levi, sebelum balas bertanya, "Lu kenapa tiba-tiba nanya begitu?"

Menelan ludah, Eren diam sejenak. Matanya cepat beralih dari satu titik ke titik lain. Tak sedikitpun berani membalas tatap manik kehitaman di sebelahnya. 

"Yah, entah kenapa gua kepikiran aja. Karena sekarang lu jalan di samping gua yang berpenampilan cewek, makanya lu biasa aja...."

Levi meluruskan kembali tatapannya, menyapu lorong yang dipenuhi para pengunjung. "Justru gua takut, bukan malu."

Giliran Eren yang menoleh. Penasaran terlukis jelas di wajah cantik itu. "Eh? Takut nanti ketemu mak-bapak gua?" 

Kepala berlapiskan surai hitam undercut menggeleng pelan. Kelihatan imut, namun belum bisa mengalahkan paras Eren sekarang.

"Kalau ketemu mak-bapak lu sih, gampang. Nanti lu langsung gua lamar di tempat."

Seketika, kalimat barusan menjadi jumpscare terindah yang pernah Eren dengar seumur hidupnya. 

"Ih, serius! Lu takut kenapa?! Pacaran sama gua yang aslinya cowok?" Si perempuan palsu berusaha meluruskan arah pembicaraan dengan wajah merona pekat. 

Levi mengarahkan telunjuk ke bawah. Mata kehijauan Eren mengikuti. Tak ada yang aneh di sana. Eren kembali mengangkat pandangan, secara tidak sengaja bertemu dengan milik sang kekasih. 

"Gua takut tiba-tiba berdiri," Levi berujar. 

"Apanya?" Eren bertanya polos. 

"Anu."

Eren diam, otaknya lelet, masih berusaha mencerna. "Emang suka berdiri?"

"Kalau lu ada di sebelah gua. Ini aja udah mulai keangkat dikit, gara-gara kita tatapan begini."

Setelah beberapa detik, barulah remaja itu paham. Rupa kian memanas, ia mengambil satu langkah mundur berjarak cukup lebar. 

"Eh anjir Levi-san! Lu egnas liat-liat tempat dulu, dong!" celetuk Eren, yang membuat perhatian sebagian pengunjung tertuju pada mereka berdua. 

Refleks, si pemuda Jaeger menutupi sepasang bibir bergincu merah muda tipisnya. Syit kelepasan, itu yang terlihat dari sorot mata yang melebar.

Tapi, entah urat malu sudah putus atau bagaimana, raut yang Levi tampilkan tetap datar. 

Manik obsidian mengamati sekeliling. Ruang kelas biasa tanpa ornamen apapun sebagai penghiasnya berhasil menghentikan pergerakan bola mata. Tak ada basa-basi, tangan pucat menarik tubuh di sebelahnya. Membimbing Eren memasuki kelas kosong. 

Pintu ditutup rapat. Dua pasang kaki melangkah menuju balik meja guru. Pegangan tangan Levi lepas, Eren refleks terduduk. 

Perlahan, Levi berlutut mengisi spasi antara kedua kaki jenjang yang terbuka. Tangannya sibuk melepas lilitan sabuk. 

"Le-Levi-san...? Mau ngapain?" Gemetar, Eren memanggil sambil mencuri pandang ke arah bawah sana. 

"Tch, pura-pura. Lu punya banyak koleksi kaset bekas Armin. Seharusnya tau sekarang gua ngapain."

Janitor ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang