-Maulik Naraya Adliatmaja-

29 0 0
                                    

Jakarta, 2011

"Eh ini kayanya signage jangan ditaro sini deh nanti kasian yang mau parkir motor harus muter balik jauh, terus ya gue pengen jam 9an di sini udah clear area ya soalnya artis pertama dateng jam 10 dan naik panggung jam 11." Naya memperhatikan wajah kedelapan panitia pensi di hadapannya. Mereka hanya mengangguk-angguk kecil, beberapa gak berani menatap balik wajahnya, dan dua cewek malah sempet-sempetnya bisik-bisik dengan wajah memerah sambil sesekali melirik Naya.

Naya sudah terbiasa dengan hal itu. Lahir sebagai salah satu anggota keluarga pewaris perusahaan sebesar MAJA Group yang usahanya meliputi berbagai macam bidang, membuatnya terbiasa diperlakukan demikian –disegani, dikagumi, tapi di belakang diomongin –jadi Naya sudah gak mau ambil pusing. Yang penting pensi besok berjalan dengan lancar.

Padahal dibandingkan dengan para sepupu Adliatmaja yang lain, Naya termasuk yang paling sederhana dan sangat membumi: seperti memilih untuk masuk sekolah negeri bukan swasta internasional apalagi sekolah di luar negeri seperti beberapa sepupunya, bawa motor (bukan mobil keluaran terbaru) ke sekolah, aktif jadi Ketua OSIS, ranking di kelas, dan berpartisipasi dalam ekstrakurikuler, semua Naya lakukan. Kalau kata sepupunya Segara Pratama Adliatmaja sih, Naya gak asik.

Tapi gara-gara nama belakangnya, semua murid di sekolahnya masih memperlakukan Naya seperti orang suci, seakan-akan kalau mereka gak pernah bikin Naya marah, derajat mereka akan ikut terangkat.

"NAYA!!!"

Atau mungkin, kecuali satu orang

"Seinget gue elu masih ketua OSIS nya deh, kenapa ini anak-anak pada nanyain keputusan ke gue sih?" Nuara datang sambil marah-marah. Di belakangnya mengekor empat panitia pensi lagi yang seingat Naya adalah anggota Seksi Konsumsi dan Seksi Keamanan.

"Keputusan apa Ra?" tanya Naya

"Lo tanya deh anak-anaknya!" Nuara menunjuk anak-anak di belakangnya tadi dengan dagunya

"E-eh, anu Kak... Ini soal konsumsi, b-bu-budgetnya kemarin kan memang diminimalisir mungkin, tapi terus saya baru dapat kabar kalau vendor security minta disediain sarapan juga, sebatas roti atau lontong pake risol te-terus sama aqua gelas juga cukup" ujar salah satu cowok di belakang Nuara dengan terbata-bata.

Naya melirik dasi anak itu. Kelas X. Berarti seumur Danar Rudolf Adliatmaja, sepupunya yang lebih milih untuk bersekolah di Kanada. Tapi beda banget, anak ini keliatan seperti ingin pipis di celana saat sedang berbicara pada Naya, sedangkan Danar tengil setengah mati.

"Berapa orang security yang akan vendor sediakan buat jaga pagi?"

"Ada sepuluh kak, siang ke sore ganti shift dan ada tambahan orang karena acara puncaknya kan sore, jadi tiga puluh orang"

"Tapi yang butuh sarapan cuma yang sepuluh kan? Yaudah budget snack pasar 12 ribu aja buat mereka sarapan, kayanya kemarin cetak poster masih ada sisa deh dari budget yang ditetapin di awal, tapi gue harus ngomong sama Tiara dulu" Naya menyebut-nyebut nama cewek yang paling ditakuti di tim OSIS nya: sang bendahara.

"One problem solved, next" Nuara memberi aba-aba ke cowok di belakangnya yang satu lagi

"Uh, anu kak ini soal tiket masuk, kalau hanya pemasangan rubber band, saya takut banyak penonton yang keluar masuk venue terus bawa orang lagi pakai rubber band orang yang udah di dalam, saya ngerti sih rubber band gak bisa diganti karena itu bentuk kerja sama dengan sponsor juga, tapi saya ngeri aja kita kecolongan, apalagi malam puncak artisnya lumayan banyak yang demen"

"Hmmm, iya juga sih tapi kalaupun kita mau nambah cetak gelang vinyl yang susah dicopot itu juga gak bakal sempet udah H-2... Gimana dong?" Naya melirik Nuara yang juga sedang memutar otak mencari jalan keluar

"Bikin cap transparan aja yuk, di percetakan depan sekolah tuh bisa jadi cepet deh. Tau kan cap yang tintanya gak keliatan itu loh? Kita perlu sedia tinta transparan sama senter UV buat ngecek lagi sih, tapi gak usah banyak-banyak. Cuma budgetnya ketutup gak?"

"Oh kalo gitu, lo cari tau harganya sekarang ke percetakan depan ya, langsung kasih tau gue biar bisa gue cek cocok gak sama budget kita, kalo gak bisa, yah... kita ketatin aja deh nanti securitynya pas hari H" putus Naya. Adik kelasnya tadi manggut-manggut mengerti.

"Makasih ya kak!" seru mereka bersamaan sebelum akhirnya pamit dari hadapan Naya dan Nuara.

"Oh ya, ikut gue sebentar Nay, tadi Bu Wulan bilang mau ngomong sama lo" Nuara mengajak Naya pergi dengan menyebut nama Pembina OSIS sebagai penjamin mereka. Membuat para panitia pensi yang sedaritadi Naya ceramahin soal flow acara sedikit lega.

"Bu Wulan di mana Ra?" tanya Naya saat mereka sampai di depan tenda putih, tempat mereka menyimpan stok cemilan dan makanan untuk para panitia pensi.

"Kaga ada Bu Wulan, udah lo istirahat aja dulu, tuh nasi kotaknya tinggal satu. Lo doang kan yang belum makan dari pagi? Lupa ya sekarang jam berapa?" Nuara mencak-mencak sambil menunjuk kotak putih berisi makanan catering sponsor acara mereka.

Naya melirik jam tangannya. Sudah pukul setengah lima sore. Pantas saja badannya terasa lelah total dan kepalanya agak melayang. Ia telat makan. Cowok itu menatap Nuara, bibirnya mengembang menjadi senyum tulus. Senyum pertamanya hari itu, "Makasih ya, Bu Wakil Ketua OSIS"

"Aggghh! Sebel! Masih aja bawa-bawa jabatan???"

"Sekali Wakil tetap Wakil. Soalnya Ketuanya cuma satu~" ledek cowok itu

"Ugh, I hate you!"

ASYMPTOTEWhere stories live. Discover now