Jakarta, 2012
Tidak pernah terlintas sekalipun dalam benak Nuara untuk mengunjungi ayahnya di sebuah lembaga pemasyarakatan. Naya menawarkan diri untuk menemani, tapi Nuara menolaknya halus. Ia butuh waktu sendiri dengan Ayahnya. Ia ingin mencoba mempercayai Ayahnya.
Gadis itu mengangguk saat penjaga menyuruhnya memasuki ruangan khusus untuk menemui Ayahnya, hanya mereka berdua.
"Halo, nak..." sapa Ayahnya dengan suara lembut. Sama sekali tidak ada di pikiran Nuara. Ia kira Ayah akan tampak lusuh dan depresi dan segala yang negatif akan melekat pada dirinya, tapi ternyata itu hanya terjadi dalam pikiran Nuara. Ayahnya terlihat lebih sehat dan cerah.
"Ayah... Maaf Ara baru bisa menjenguk Ayah. Bagaimana... Bagaimana kabar Ayah?"
Andika Rasyid tersenyum. Andai saja tangannya tidak dikekang dengan borgol, ia ingin sekali mengusap kepala putri semata wayangnya.
"Ayah baik-baik saja. Penjara tidak seburuk itu. Ara tahu kan sejak Ayah dipindahtugaskan ke Jakarta, Ayah sibuk sekali sampai lupa dengan hobi membaca Ayah? Di sini Ayah bisa lebih leluasa membaca, dan bisa tidur sampai siang juga, gak perlu bangun buru-buru dan berhadapan dengan kemacetan pagi hari."
Nuara memandang wajah di hadapannya dengan seksama. Pria yang sudah tidak muda lagi itulah yang selalu menggendongnya di punggung saat kecil. Pria yang rambutnya beruban itulah yang mengajarinya beberapa tendangan pencak silat. Pria dengan guratan jelas di wajahnya itulah yang mengajarinya untuk bersabar dan dalam beberapa kesempatan yang harus diperjuangkan, ada kalanya kita harus mengalah.
"Ayah, maafin Ara... Ara kabur... Ara malu... Harusnya Ara tetap di samping Ayah, mendukung Ayah saat terpuruk, bukannya malah lari... Ara anak yang gak berguna. Seburuk apapun perbuatan Ayah, harusnya itu gak mengurangi kebesaran cinta Ara untuk Ayah... Maafin Ara..." gadis itu menumpahkan airmatanya di hadapan sang Ayah. Akhirnya.
"Ara... Kamu gak perlu malu. Ayah ada di sini sama sekali bukan kesalahanmu. Ayah ada di sini karena mereka yang iri dengan kita... Mereka yang iri dengan kerja keras Ayah dan kehebatan anak Ayah... Ayah di sini bukan untuk mempertanggungjawabkan kesalahan yang tidak Ayah buat sama sekali. Ayah di sini karena ingin menunjukkan sekuat apa kita..."
*****
"Ah iya, saya mengerti. Nanti setelah saya cek berkas-berkasnya akan saya sampaikan ke Nendra untuk ditandatangani. Yes, yes, lantai 3 gak apa-apa. Aksesnya gampang kan dari lift di lobby utama? Kalau sudah oke, nanti kita akan mulai survey ke sana bulan depan ya Pak. Terima kasih." Awan Fajar Adliatmaja menutup sambungan telponnya dengan pemilik mall yang bersedia menyewakan satu tenant untuk usaha baru yang ia dan Nendra pikirkan: karaoke bar.
"Sampai di mana tadi kita?" kakak sepupu Naya yang baru berusia 19 tahun itu menoleh kembali ke arah Naya. Awan boleh baru 19 tahun, tapi skill bisnisnya membuat cowok itu sering diseret Nendra ke sana ke mari untuk membantu mengembangkan usaha keluarga besar mereka.
"Iya, soal pejabat dari partai yang kemarin aku jelasin di Whatsapp itu loh Mas. Mas Awan bilang dia punya backingan orang perusahaan real estate yang sempat rebutan tender sama project rumah susun MAJA Group kan?" tanya Naya
Alis Awan berkedut sekilas. Mengingat kembali orang brengsek itu membuat amarahnya naik. "Iya, betul. Restu Prananta. Si curut pengecut itu. Dia bisa apa kalo gak ada orang-orang tolol yang sama serakahnya di belakangnya"
"Nah, Mas... Ayah temanku sedang dalam masa penyidikan kasus suap. Si Restu ini jadi saksi kunci. Aku rasa ada yang mengganjal karena kayanya aku pernah dengar nama dia entah di mana ternyata dia salah satu anteknya si real estate yang waktu itu ya. Kalau perusahaan real estatenya Mas Awan tau lebih rinci gak?"
YOU ARE READING
ASYMPTOTE
Fanfic[Asymptote] // dalam istilah analisis geometri, asymptote dari sebuah kurva adalah keadaan di mana kedua garis dari koordinat x dan y mendekati angka 0. Kedua garis tersebut semakin mendekat dan terus mendekat hanya saja keduanya tidak akan pernah b...