Siapa yang tidak suka dengan Weekend? tentunya setiap orang menyukainya, kecuali dia yang workholic. Seperti Sabtu pagi ini, rumah minimalis berwarna abu-abu itu masih terlihat menyala lampu taman serta terasnya. Belum ada tanda pemilik rumah beraktifitas.
Seulgi menggeliat di balik selimut tebal dan hangat, matanya mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke pupilnya. Kepalanya berputar dan melihat ke salah satu tembok kamarnya, sudah jam setengah tujuh pagi. Badanya berbalik dan menemukan seorang pria tengah tertidur dengan lucunya. Kedua tangannya ditumpuk dibawah pipin sehingga bibir tebalnya terlihat mengerucut.
Seulgi tersenyum melihatnya, tubuhnya bergerak sedikit untuk merapat ke pria tersebut. Seulgi sungguh tidak dapat menahan rasa geli, tanganya terangkat untuk menyingkarkan helaian rambut di dahi dan membelai lembut pipinya. Kepala Seulgi maju untuk sekedar mengecup bibir pria tersebut.
"enghh" lengkuh pria tadi dan malah menenggelamkan setengah wajahnya di bantal, Seulgi lagi-lagi hanya bisa menahan rasa gemasnya.
"Bangun, Jim. Sudah siang" Kata Seulgi kepada pria tersebut, Suaminya, Park Jimin.
"hmmm" jawab Jimin dengan suara rendah, tubuhnya menggeliat dan berbalik memunggungi Seulgi namun tidak lama mendapat cubitan di lengannya.
"masih ngantuk, Seul..." kata Jimin yang kembali menghadap Seulgi namun dengan mata yang masih tertutup rapat.
"Sudah siang, Jim!" Jimin malah menarik bantal yang sedari tadi dipakainya tidur dan meletakannya di kepala, menghindar dari Seulgi.
Tidak habis akal, tangan Seulgi bergerak ke dalam selimut dan mencubit perut berotot suaminya. Jimin berteriak keras karena kaget juga sakit yang ditimbulkan.
"Kenapa sih, Seul? aku masih ngantuk" Jimin mengalah dan membuka satu kelopak matanya, itupun hanya setengah. Seulgi menjawabnya dengan gelengan dan senyuman kecil. Jimin berdecak sebal.
"Kamu bangun dulu sana, aku masih ngantuk. Mumpung Sabtu, Seul" Kata Jimin dengan suara khas bangun tidur. Matanya masih setengah terpejam, bibirnya terlihat bengkak dan matanya makin terlihat sipit, khas Jimin bangun tidur.
Seulgi tersenyum kembali, sulit rasanya tidak menggoda lelaki yang sudah menemaninya hampir sewindu ini. Tangan Seulgi kembali bergerak ke arah pipi Jimin, meletakannya lama lau perlahan mengusapnya lembut. Jimin yang merasakan usapan lembut itu tersenyum kecil dan bergerak menidurkan kepalanya di bantal milik Seulgi.
"kamu masih lucu aja sih? heran.." gumam Seulgi dan dia yakin Jimin mendengarnya dengan jelas.
"aku berasa punya 2 balita tau gak? bedanya satunya nurut yang satu nuntut.."
"tapi aku sayangnya sama kok, eh, gak deh, lebih gede sayangnya ke yang nurut.."
"YA!" Seulgi tersenyum melihat reaksi Jimin yang berteriak tersebut. Jimin juga membalasnya dengan senyuman walau kedua matanya belum terbuka.
"udah ah, aku mau beres beres" pamit Seulgi dan berniat menyibakan selimutnya, belum tangannya menyentuh ujung selimut, Jimin menariknya untuk berbaring kembali. Setelah memaksa Seulgi untuk kembali pada posisi sebelumnya, salah satu kaki jimin diletakan di pinggang Seulgi. Tangannya memeluk Seulgi erat.
"nanti aja, temenin aku tidur aja"
Seulgi tidak berontak, hanya diam dan perlahan mulai membelai pelipis Jimin sayang. Dilihatnya seluruh wajah Jimin dengan teliti, wajah yang bertahun-tahun dia kagumi. Netra Seulgi berhenti pada mata Jimin yang semakin hari semakin terlihat kantung matanya, hasil dari bekerja seharian penuh bahkan ditambah waktu lembur.
Pekerjaanya yang menjadi arsitek membuatnya jarang berada di rumah dan bercengkrama bersama keluarganya. Rasanya 7 hari dalam seminggu sangat kurang bagi Jimin, terlebih sudah menyangkut waktu dengan Juna, anak semata wayangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Side stories (seulmin)
Fanfiction"People don't want to hear the truth, because they don't want their illusions destroyed" Friedrich Nietzsche So, dont destroyed my SEULMIN illusions Bahasa 11 juli 2017