Last Chance

700 64 2
                                    

Empat hari sudah Jimin tidak keluar dari apartemennya, dan selama itu pula dia hanya berguling dengan pandangan kosong dan perasaan menyesal di tempat tidur. Seminggu lalu Seulgi benar-benar meninggalkannya sendirian, tanpa bisa dihubungi lewat media apapun. Dua hari pertama mungkin bisa dilewati Jimin dengan kesibukan bekerja hingga larut, namun setelahnya dia menyerah, tidak sanggup tanpa Seulgi.

Seminggu yang lalu, 2 hari setelah sidang mediasi dilakukan, Seulgi memberitahukan bahwa dia menyerahkan seluruh kebijakan pada Yoongi. Dia sudah tidak ikut campur dengan rentetan persidangan dan memilih pergi tanpa memberi tahu tujuannya pada Jimin. Jimin menolak, tentu saja. Dia masih ingin mempertahankan rumah tangganya dan memohon maaf atas semua sakit yang Seulgi terima.

"Aku bukannya menyerah, aku bukannya menghindar, aku hanya memberimu sebuah kebebasan yang seharusnya kamu dapat. Tidak perlu mencariku, nanti aku kembali waktu sidang putusan, berbahagialah"

Itu ucapan terakhir sebelum Seulgi mengecup singkat pipi Jimin yang diam tidak tahu harus berbuat apa. Berbagai cara telah Jimin lakukan untuk menghalangi gugatan yang Seulgi ajukan, mulai dari merobek surat gugatan, membujuk seulgi hingga tidak datang persidangan. Namun akhirnya dia menyerah, dia menyerah dengan berbagai ancaman Seulgi, dan Jimin rasa dia sudah menjadi setengah gila sekarang.

Mereka belum memberitahu perihal perceriaan terhadap keluarga masing-masing. Seulgi takut mereka kecewa, sementara Jimin takut untuk tidak diterima. Besok, Seulgi akan memberitahu orang tua mereka, memang masih belum resmi bercerai, namun pilihan itu sudah bulat bagi Seulgi, tapi tidak untuk Jimin.

***

"Tolong, aku minta tolong, ini yang terakhir"

Jimin memelas pada orang di depannya yang nampak jengah dengan kehadiran Jimin. Bukannya tidak suka, namun dia merasa kesempatan lelaki yang berwajah pucat dan berpenampilan tidak karuan ini sudah tidak ada.

"Please.." Jimin kembali meminta, dia adalah harapan terakhir Jimin.

"Rasanya aku ingin sekali memukulmu, tapi aku tak tega dengan wajahmu yang sudah pucat seperti itu" Geram Yoongi menahan amarah, Jimin hanya diam sambil menunduk.

"Seulgi sudah aku anggap sebagai adikku sendiri, Jim. Aku sakit hati sewaktu dia bercerita tentangmu, dan ketika aku melihatmu waktu itu rasanya tanganku.. Arrghh kau berengsek!" Jimin masih diam tak mampu bicara, dia hanya tidak dapat mengeluarkan pembelaan, dia memang salah.

"Aku menyesal, aku sangat menyesal.."

"Terlambat"

"Tapi aku mau berjuang, sungguh aku tidak bisa berpisah dengannya.."

"Memang Seulgi mau kau perjuangkan?"

Jimin diam, itu menohok, napasnya mendadak tersendat.

"Aku sayang dengan dia, Jim.. Aku tidak bisa membiarkan dia menangis sejak dulu, dan kau dengan sengaja membuatnya menangis, harusnya dari awal aku sudah mengahabisimu"

Suasana hening tercipta dari jeda panjang yang dihasilkan Yoongi, napasnya terdengar memburu menahan amarah.

"Aku juga pria, Jim, sudah beristri juga, sama sepertimu. Aku tidak paham denganmu menyakiti seseorang yang sudah mau mengahabiskan hidupnya untuk mengabdi padamu"

"Jika dari awal kau tidak bisa memegang janji ya jangan berjanji, jangan meminta kepada orang tua Seulgi jika hanya akan menyakiti anaknya, tidak ada yang mau anaknya disakiti, Jim, tidak ada.."

***

Hari sudah hampir pagi ketika ponsel Jimin membunyikan alarm yang dia gunakan untuk bangun tidur. Itu artinya di Korea sudah pukul 6 pagi sedangkan disini masih tengah malam. Jimin sedikit tersadar dari tidurnya lalu mematikan alarm. Sudah lebih dari 5 jam dia duduk di depan pintu apartemen yang pemiliknya tidak ada.

Side stories (seulmin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang