Genre: fantasy, thriller
====================
Ini merupakan tahun keduaku di sekolah sihir. Teman-temanku sudah mulai memilih jurusan. Aku dipaksa untuk masuk ke dalam jurusan sihir hitam sebab kedua orang tuaku merupakan penyihir kegelapan, sekalipun kemampuanku sangat jauh di bawah payah.
Para penyihir hitam punya kemampuan di atas rata-rata, seperti teman sekamarku Michela. Dia adalah salah satu dari para murid-murid berbakat sekolah. Terutama, bila melihat silsilah keluarganya yang memang tak asing lagi di kalangan penyihir. Michela Abraham, keturunan penyihir besar Abel Abraham, sahabat sekaligus rival sejati Izza Rouchel, sang penyihir kegelapan paling ternama sepanjang masa yang juga merupakan kakek buyutku.
Aku diberi nama Izza Rouchel seperti beliau. Akan tetapi, aku bukan laki-laki, melainkan gadis penyihir hitam paling tak berkemampuan sejauh sejarah jurusan sihir hitam terukir di sekolah.
"Mungkin kau butuh semacam pendorong agar sihirmu keluar," kata Michela suatu hari ketika aku curhat kepadanya untuk ke sekian kali.
Aku mengerutkan kening. "Pendorong? Seperti generator maksudmu?"
Gadis itu terbahak-bahak, walau aku yakin kalimatku bukan ditujukan untuk melucu. "Misalnya, seperti aku." Michela melanjutkan setelah tawanya mereda. "Aku mempelajari sihir hitam karena ingin mengalahkan kakakku yang kini bekerja untuk Kementrian Sihir."
Aku mengangguk-angguk, sekalipun tak yakin bila benar-benar paham.
Berdasarkan kata-kata Michela, aku mulai mengunjungi perpustakaan sekolah secara rutin pada hari libur untuk membaca buku-buku terkait sihir hitam. Namun, tak ada satupun referensi yang membuatku tertarik, semuanya sangat membosankan. Tak jarang aku tertidur dan baru bangun sewaktu perpustakaan hampir tutup (terkutuklah penjaga perpustakaan yang memajang foto diriku yang sedang ketiduran di papan pengumuman!).
Aku mulai merasa lelah pada minggu ketiga pencarian pendorongku. Akhirnya, kutetapkan untuk mengunjungi rak-rak buku yang bukan membahas soal sihir hitam. Sampailah aku di jajaran rak paling berdebu perpustakaan sekolah: Sihir Punah.
Aku mengambil buku paling berat, paling tebal dan paling bau dari sana. Butuh perjuangan untuk membawanya ke meja pembaca. Buku itu berjudul Dasar-dasar Sihir Pemanggil, yang kalau tak salah pernah beberapa kali disinggung pada pelajaran sejarah sihir.
Berdasarkan buku tersebut, sihir pemanggil sudah menghilang sejak empat ratus tahun lalu, kira-kira satu zaman dengan buyutku. Penyihir pemanggil terakhir adalah Zaza Ruzgar yang juga merupakan istri pertama Izza Rouchel sebelum menikah dengan Izar Mahris. Tak diketahui dengan pasti bila Izza punya buah hasil pernikahan tersebut, tetapi ada gosip yang mengatakan kalau anak pertama Izza merupakan putranya dengan Zaza.
Ada dua jenis sihir pemanggil. Seorang penyihir biasanya hanya mampu menguasai satu jenis. Zaza merupakan penyihir pemanggil yang mengikat kontrak dengan hewan. Pengikatan kontrak dilakukan dengan cara mendekati hewan tersebut, berteman dengannya, kemudian membuat dia rela mengorbankan diri untuk sang calon kontraktor. Lalu, hanya dengan memusatkan kekuatan pada diagram sihir, sang kontraktor dapat memanggil hewan tersebut dan membuatnya bertarung menggantikannya.
Cara yang keji? Benar. Penyihir jenis ini tak punya perikehewanan. Namun, entah mengapa aku tertarik. Apalagi karena sihir pemanggil bisa dipelajari oleh siapa saja tanpa melihat garis keturunan, walaupun memang garis keturunan akan menjadi nilai tambah.
Kuputuskan untuk meminjam buku tersebut dan mulai mempelajarinya. Aku mulai sering bolos kelas untuk berlatih di halaman belakang sekolah. Tak jarang pula tidak kembali ke asrama, sampai-sampai aku menjadi langganan detensi. Michela dan guru-guru berulang kali memperingati, tetapi tak pernah kuindahkan. Catatan perilakuku membuat sekolah terpaksa membuatku mengulang tahun keduaku sampai tiga kali.
Hingga orang tuaku tak tahan akan kelakuanku, aku pun disidang di hadapan seluruh keluarga besar. Kata-kata seperti, Anak tak tahu diuntung! Mempermalukan keluarga! Kau tak pantas memegang nama Rouchel! keluar dari mulut mereka seperti puluhan godam yang memukul kepalaku.
Namun, aku tak peduli. Diam menjadi pilihanku. Sewaktu sidang selesai dan aku kembali ke kamar, segera kukemasi barang-barang dan memilih untuk pergi dari rumah pada malam itu juga tanpa mengacuhkan kutukan-kutukan yang diucapkan oleh ibuku. Ayah berhasil menyusulku di kota dan mengatakan untuk memikirkan kembali keputusanku karena bagaimanapun aku adalah anak semata wayangnyanya, penerusnya.
Aku membalas tatapan memelasnya dengan tajam, kemudian mulai menggigit ujung jempolku dan menjatuhkan tiga tetes darah ke tanah. Sebuah diagram rumit bersinar tepat di kaki Ayah yang disusul mencuatnya tangan-tangan berkuku panjang, menarik-narik ayah, melukainya tanpa ampun, sehingga ia berdarah-darah serta berteriak kesakitan.
Ayah berkata, "Apa yang kaulakukan, Izza?!" Terlihat panik dan ketakutan.
Aku mendengus. "Mengorbankanmu, Ayah. Karena mulai sekarang pendorong Izza Rouchel adalah menjadi penyihir pemanggil iblis terhebat sepanjang masa." []
====================
Cermin ini sebenarnya mau saya ikutkan lomba. Akan tetapi, tidak jadi. Saya pesimis. Jadinya, saya publish di sini saja. Ha ha ha :'v
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Kita Terjaga
Short Story[15+] Ketika kita terjaga, biasanya disebabkan oleh banyak hal. Entah itu karena suara berisik di dapur, suara deritan ranting pohon, atau perasaan tentang keberadaan monster di bawah tempat tidur. Namun, kamu pasti akan memilih untuk tetap menutup...