Genre: fantasy, thriller
====================
Aku terbangun dari tidur dengan mata ibuku yang melotot padaku. Dengan cipratan darah di beberapa bagian kamarku, membasahi kasur dan selimutku.
Aku tidak sanggup berkata-kata, apalagi berteriak minta tolong. Aku hanya menyingkirkan tangan ibuku dari sisi tempat tidur, kemudian bersusah payah mengumpulkan tenaga pada kaki-kakiku agar mampu berjalan keluar kamar, mengecek keadaan. Akan tetapi, ruang keluarga pun sama saja, sama tak beraturan, sama kotornya, sama menjijikkannya.
Aku muntah dalam perjalananku menjauhi dapur, dimana kedua kakak laki-lakiku kutemukan tak bernyawa dengan usus terbuai serta tubuh hangus di dalam oven.
Menuju ruang tamu, aku mendengar suara panik ayah yang mulai mendobrak pintu bersama beberapa orang. Tepat ketika pintu terbuka, aku jatuh terduduk. Gigiku bergemeletuk. Lidahku kelu. Sosok Ayah, dengan kemeja kerja putih berdasi, berlari masuk ke rumah, sementara tiga orang polisi di belakang Ayah menghambur ke dalam.
Ada beberapa tetangga yang mengintip dari balik pintu. Mereka terlihat iba. Bahkan, ada yang berbisik, "Kasihan sekali, ya."
Ayah merangkulku, menarikku ke dalam pelukannya dan membuat hidungku mampu membaui keringatnya.
"Tak apa. Semua sudah aman. Kau aman, Yuko-chan," kata Ayah dengan suara bergetar.
Tangisku pecah pada detik itu juga.
***
Sore harinya, pemakaman dilakukan untuk menguburkan jasad ibuku. Dia terlihat cantik di balik gaun putih dan bunga-bunga di sekeliling petinya. Riasan membuat ibu seolah-olah masih hidup, tanpa luka atau apa pun yang menjadi penyebab kematiannya. Beberapa orang terdengar tak mampu menahan tangis, seperti ayah yang hingga pemakaman usai terlihat enggan untuk beranjak.
Ayah berjongkok, mengelus tanah yang digunakan untuk mengubur peti ibu. Ujung lengan kemeja putih yang mengintip di balik jas hitamnya menjadi kotor. Aku ikut duduk di sana, membayangkan bagaimana jadinya jika aku yang berada di bawah sana.
Pasti menakutkan sendiri di balik kegelapan, di dalam peti sesempit itu.
Perutku mual.
Sewaktu hujan mulai turun, ayah mengajakku untuk kembali. Untuk sementara waktu, kami akan tinggal di rumah bibi sampai penyelidikan di rumah kami selesai. Itu pun bila ayah masih rela tinggal di tempat yang telah merenggut tiga nyawa anggota keluarga kami.
Tiga nyawa?
Aku menoleh ke arah pemakaman, membuat ayahku ikut menghentikan langkah karena ia berjalan sambil menggenggam tanganku.
Tak ada yang aneh di sana.
"Yuko-chan? Ada apa?" tanya ayah dengan suara serak.
Aku menggeleng. "Tidak apa-apa, Ayah. Hanya saja ..." aku memberi jeda sewaktu melihat dua sosok laki-laki seumuranku dengan wajah mirip sudah berada di mobil ayah, "tidak jadi."
Ayah tertawa kecil. "Aku harap kita akan baik-baik saja mulai sekarang."
Aku mendongakkan kepala menatap mata sembap ayah. "Iya," jawabku mengangguk.
Kami masuk ke mobil, kemudian berkendara menembus hujan yang semakin deras.
***
Ayah memohon pada bosnya untuk dipindahtugaskan. Kami pindah rumah dua minggu kemudian. Anggota keluarga yang lain memaklumi pilihan ayah, berharap agar dia cepat pulih dari kesedihannya. Kami berangkat dengan lebih dari selusin anggota keluarga kami yang mengantar ke bandara.
Ruang tunggu bandara terlihat sesak waktu itu. Ayah juga sangat gelisah hingga beberapa kali bolak-balik toilet. Aku hanya tertawa melihat itu. Mungkin, ayah memang seperti aku, penasaran seperti apa lingkungan baru kami di sana.
Menunggu kedatangan pesawat seperti menanti selamanya, suasana terus saja sama dalam beberapa waktu. Seolah-olah aku berada dalam perputaran waktu yang itu-itu saja.
Mataku memberat bosan. Suara teredam perlahan. Samar-samar, aku mendengar seseorang berteriak, "Seseorang terbunuh di toilet!"
Aku hanya berharap itu bukan ayah.
***
"Yuko-chan."
Mataku melebar seketika.
Aku terduduk. Tanganku meraba rerumputan kering di sekelilingku. Pandanganku tidak menemukan pemilik suara, hanya ada pohon gundul di depanku. Beberapa makam tua berjejer tak beraturan di sekelilingnya.
"Di belakangmu, Yuko-chan."
Aku menoleh mengikuti permintaan suara yang berbeda.
Dua orang berwajah sama berdiri bersisian. Mereka mengenakan pakaian hitam-hitam, jas berkabung yang sama dengan pakaian sewaktu ibu dimakamkan.
"Kak Rento? Kak Renko?"
Hanya lelaki bermata hijau yang mengangguk, sementara yang bermata biru terdiam memperhatikanku lekat-lekat.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyaku. Otakku memainkan ingatan sewaktu melihat mereka di dapur. "Bukankah kalian sudah ...." Aku meneguk air liur. "Tapi, kami tidak mengadakan pemakaman untuk kalian."
"Karena kami tak pernah ada, Yuko-chan," jawab yang bermata hijau, Kak Renko.
"Sepertimu yang tak pernah ada pula," tambah Kak Rento.
"Tapi--"
"Kautahu kenapa." Kak Rento memotong sembari menyilangkan tangan.
Aku berdiri, membersihkan sisa-sisa rumput kering pada gaun hitamku. Sewaktu melihat ke bawah, aku mendapati hal yang tak seharusnya aku lihat.
Lima buah boneka berjajar di tempatku duduk tadi. Boneka sepasang suami istri dengan tiga anak kembarnya. Aku menghela napas panjang, lalu menoleh pada kedua kakakku.
"Mereka berdua benar-benar akan menamaimu Yuko, ya?" Kak Rento bertanya.
Aku mengangguk. "Saking gilanya mereka, aku lupa tak pernah terlahir di dunia." []
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Kita Terjaga
Short Story[15+] Ketika kita terjaga, biasanya disebabkan oleh banyak hal. Entah itu karena suara berisik di dapur, suara deritan ranting pohon, atau perasaan tentang keberadaan monster di bawah tempat tidur. Namun, kamu pasti akan memilih untuk tetap menutup...