9. Rumah Terkutuk

112 6 2
                                    

Rumahku dikutuk. Aku bisa merasakan itu.

Orang tuaku datang kemari di tahun pertama mereka menikah. Waktu itu, ibuku sedang hamil tua dengan diriku. Lingkungan rumah baru kami sangat menyeramkan, atau begitulah yang kudapat dari cerita mereka.

Dahulu, rumah kami terletak di tengah hutan. Jaraknya pun sangat jauh dari jalan utama dan harus melewati jalur yang penuh lumpur baik di musim hujan atau musim kemarau. Selain itu, dulu rumah ini hanya punya satu tetangga yang letak rumahnya tepat berada di depan rumah kami.

Ayahku membeli rumah dan tanah ini dengan gaji kecilnya sebagai pegawai pemerintah rendahan. Pemilik-sebelumnya menjual dengan harga murah setelah rangkaian kejadian yang menyebabkan dia sedikit trauma. Pemilik-sebelumnya membeli rumah ini dari pemilik-pemilik-sebelumnya karena pemilik-pemilik-pemilik-sebelumnya telah meninggal dunia karena sebuah penyakit yang tidak diketahui.

Ibuku berkata, pemilik-sebelumnya sempat bercerita bahwa tak lama sebelum dia pindah, ada sebuah pembunuhan yang terjadi di jalan, tepat di antara rumah kami dan rumah tetangga depan rumah kami. Seorang pria menyiksa istrinya karena masalah rumah tangga mereka di malam hari. Teriakan si istri sangat keras waktu itu hingga membangunkan dua keluarga. Sayangnya, sewaktu mereka membuka pintu rumah mereka, sang istri telah kehilangan nyawa dan sang suami meraung-raung tak keruan. Tetangga kami menelepon polisi, tetapi ketika mereka telah tiba, sang suami sudah bunuh diri dengan melompat ke sungai yang berada tak jauh dari lokasi kejadian.

Suatu malam, di usiaku yang kesepuluh tahun, aku tertidur di kamar depan bersama adikku. Aku terbangun di tengah malam karena kehadiran suara tangisan yang sangat keras. Tangisan itu bergerak dari arah sungai kecil dan terus melewati rumah kami lalu menghilang di ujung jalan. Mendengar suara itu membuatku tak tenang, sehingga hari itu aku tidak tidur semalaman.

Kejadian itu kuceritakan pada ibuku, tapi ibuku berkata bahwa aku hanya salah dengar. Walau begitu, beberapa hari kemudian aku tidak sengaja melihat ibu pergi menceritakannya kembali pada tetangga depan rumah kami. Tetangga depan rumah kami berkata bahwa tak sebaiknya peristiwa itu kembali diungkit. Jadi, sejak hari itu, setiap aku menanyakan soal suara tangisan, ibuku akan mengalihkan pembicaraan.

Beberapa minggu kemudian, aku kembali terbangun di tengah malam dan lagi-lagi mendengar suara tangisan. Bedanya, arah tangisan itu dari ujung jalan menuju sungai. Lalu, setelahnya aku selalu mendengar suara senandung yang amat merdu pada setiap malam dari depan rumah. Aku pernah mencoba mengeceknya, tapi ketika kakiku menyentuh lantai, senandung itu berhenti begitu saja. Semakin lama, aku pun mulai terbiasa dengan semua suara tersebut hingga bisa tidur nyenyak tanpa merasa terganggu.

Hingga suatu malam, suara senandung merdu dan tangisan itu berubah menjadi tawa yang menyeramkan.

Kata orang, bila suara tawa makhluk halus terdengar jauh, itu berarti makhluk itu berada sangat dekat dengan kita. Akan tetapi, ketika tawanya terletak sangat dekat, berarti jarak makhluk itu cukup jauh. Suara tawa tersebut berasal dari dapur, yang sebenarnya aku tidak tahu itu jarak yang dekat atau jauh menurut pengertian "kata orang". Aku pun memutuskan untuk pura-pura tidur dan mengucapkan semua doa yang kuingat.

Suara tawa itu lalu bergerak berkeliling. Asalnya dari atas, yang mengingat mustahil sebab rumah ini hanya rumah satu lantai yang sangat sederhana (bahkan plafon rumah pun tidak ada!). Suara itu berakhir di depan rumah--yang kutebak dia singgah di pohon jambu--sambil terus tertawa. Aku tidak ingat berapa lama dia di sana hingga suaranya memudar dan aku akhirnya bisa tidur lelap.

Aku tak menceritakan kejadian itu pada siapapun.

Lalu, sebuah peristiwa yang tak akan pernah kulupakan terjadi. Ayahku membentak ibuku tepat di hadapan anak-anaknya. Aku dan adikku bersembunyi di kamar depan hingga adu argumen mereka berhenti. Ayahku keluar dari rumah, sementara ibuku menangis tersedu-sedu. Tak lama kemudian, ibu mengambil uang yang ia sembunyikan di bawah tumpukan pakaian di dalam lemari, kemudian melangkah keluar rumah hingga tak terlihat berhari-hari. Sementara itu, aku dikirim ke rumah nenekku di seberang pulau, meninggalkan adik kecilku hanya bersama ayah di rumah itu.

Ketika Kita TerjagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang