Semua orang tahu kalau jalan transit antar kota biasanya punya cerita sendiri. Mulai dari sekedar penampakan yang tak menganggu pengemudi, sampai sesuatu yang mengundang kecelakaan. Bahkan, ada jalan-jalan yang punya pantangan sehingga setiap orang yang lewat harus mematuhinya apabila mereka ingin selamat.
Kisah ini terjadi di salah satu jalan transit yang ada di Indonesia.
Petang itu, aku beserta ibu dan saudariku dalam perjalanan menuju kota setelah mengunjungi kediaman nenek di desa. Untung mencapai kota, aku harus mengemudi melewati pegunungan dan beberapa perkampungan. Jalan transit yang kami lewati tak lebar, bisa dibilang sempit malah karena hanya muat satu mobil di masing-masing jalur. Ditambah karena harus melewati bukit demi bukit yang tinggi, jumlah likunya pun tak dapat kuhitung.
Keluar dari perkampungan terakhir dari arah desa Nenek, kami menemui pegunungan. Kaca mobil yang berembun menandakan udara di luar lebih dingin daripada di dalam. Jalanan juga sangat sepi, tak ada suara lain selain suara putaran roda mobil ini. Ditambah lagi, baik aku, adik maupun ibuku tak ada yang sedang mood untuk berbicara.
Sewaktu jalanan yang kami lalui mulai menanjak, pohon-pohon pun berkurang. Kanan kiri jalur yang berliku hanya berupa semak dan ilalang. Aku bahkan dapat dengan mudah melihat kondisi jalan pada bagian atas.
Menjelang puncak, aku melihat sebuah mobil keluarga berwarna putih menuruni bukit. Karena jalanan yang berkelok, aku sengaja memelankan kendaraan yang kubawa. Aku terus mengemudi sambil menaikkan kewaspadaan kalau-kalau mobil putih itu hampir mendekat. Sebab sekalipun dua jalur, jalanan ini terlalu sempit sehingga bisa berakibat fatal bila tidak hati-hati.
Akan tetapi, hingga sampai di puncak bukit, tempat di mana tiga menara BTS (Base Transceiver Station) berdiri aku tak melihat mobil putih itu melewati kami.
"Mesya," panggilku. Adikku membalas dengan gumaman pelan. "Tadi liat mobil putih gak?"
"Mobil putih yang mana?"
"Itu ... tadi waktu lagi mendaki." Kulirik ibuku melalui kaca spion. "Bu, Ibu lihat gak?"
"Tidak," jawab Ibu.
Bulu kudukku merinding. Rasanya ingin segera melupakan percakapan tadi.
Selang beberapa detik senyap, Mesya kembali bersuara, "Jujur, sih. Tadi memang aku lihat kayak ada mobil dari atas. Tapi warnanya bukan putih, makanya aku bilang ga liat."
"Warna apa memangnya?" tanyaku.
"Abu-abu."
"Mungkin memang itu. Tahu kan, warna putih sama abu-abu itu mirip. Apalagi di luar mulai gelap."
Mesya lagi-lagi bergumam kecil. "Kak. Apa mungkin mobil itu belok ke kiri?"
"Mana mungkin!" bantahku. "Dari perkampungan sampai kota jalan cuman satu jalur."
"Kalau berhenti?"
"Yakin tadi ada mobil yang berhenti?"
Kami kembali terdiam. Karena baik aku maupun adikku tahu pasti, bahwa tak ada mobil selain mobil kami yang melewati jalur ini. Pengendara lain memang ada, tapi mereka adalah pengendara motor yang itu pun tadi sedang beristirahat di dekat menara BTS.
Ketika jalanan mulai menurun, aku pun kembali berbicara, "Tapi, kamu serius kan tadi lihat mobil itu, Mes?"
Mesya mengangguk. "Iya. Kakak gak sendiri."
Ibu yang sedari tadi mendengarkan percakapan kami pun berujar. "Sudahlah kalian. Mesya, putar dzikir. Sekarang sedang magrib. Jangan membicarakan hal tidak penting di waktu-waktu keramat seperti ini."
Akhirnya pembicaraan pun berhenti dan digantikan dengan lantunan dzikir dari speaker mobil.
Hingga sampai di rumah, tak ada di antara kami yang berani menceritakan kejadian itu. Selain karena perintah Ibu, ada juga kepercayaan tentang kita akan diikuti oleh makhluk halus bila menceritakan suatu kejadian jelek. Walau begitu, sampai sekarang aku masih penasaran tentang mobil itu.
Apa mungkin, mobil itu merupakan mobil angkutan ke dunia lain yang jalurnya menembus pohon dan tebing? []
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Kita Terjaga
Short Story[15+] Ketika kita terjaga, biasanya disebabkan oleh banyak hal. Entah itu karena suara berisik di dapur, suara deritan ranting pohon, atau perasaan tentang keberadaan monster di bawah tempat tidur. Namun, kamu pasti akan memilih untuk tetap menutup...