5. Rumah Kotak

124 12 2
                                    

Genre: mistery, horror

====================

Di dekat sekolah dasarku, ada sebuah bangunan tua peninggalan Belanda.

Bentuknya persegi, dengan panjang dan lebar yang kurasa sama persis. Letaknya di atas bukit, tepat di perempatan lampu merah yang sudah bertahun-tahun tak pernah menyala. Ilalang tumbuh mengelilinginya, tapi karena warnanya yang terang, jadi tetap tidak tersamarkan. Tak ada pohon di sekitarnya, seakan-akan menolak untuk tumbuh di sana.

Bangunan itu sudah berulang kali beralih fungsi: kantor sebuah perusahaan, toko alat elektronik, toko meubel, rumah tinggal ... Akan tetapi, semua berakhir dengan cepat. Entah itu berpindah kepemilikan karena suatu hal, kebakaran, atau lain sebagainya. Sehingga, bangunan itu menjadi kosong lagi.

Warnanya juga sudah berulang kali berubah. Suatu hari putih, lalu kuning, berubah jadi oranye, cokelat, hijau dan terakhir merah (walau sekarang merahnya sudah mulai memudar). Bahkan para pemiliknya pernah mengubah bentuknya. Apakah diperluas, ditambahkan jumlah lantainya, atau sekedar dihias halamannya. Namun, seperti yang dapat kautebak, rumah itu kembali lagi ke bentuk semula.

Kotak dengan ilalang.

Banyak gosip yang beredar tentang bangunan tersebut. Kata temanku, dulu ada wanita yang gantung diri di ruang belakangnya. Posisinya tepat di dekat pintu belakang rumah yang menghadap jalan menuju sekolah. Ada juga cerita yang mengatakan seseorang mati di tembak di sana. Kisah lain, anak kecil yang mati terbakar di ruang yang sama dengan si wanita.

Aku tidak tahu apakah semua itu benar. Karena dulu, aku tidak terlalu memikirkannya. Sampai suatu hari ketika aku pulang dari latihan gerak jalan 17 Agustus di kelas limaku, aku berubah pikiran tentang bangunan itu.

Ceritanya begini. Waktu itu, aku pulang bertiga dengan dua sahabatku. Sebut saja mereka Ayu dan Ita. Ayu menjadi pemimpin barisan, jadi selama perjalanan dia terus menerus meniup peluitnya dan berteriak, "Kiri, kiri! Kiri, kanan, kiri!" sementara Ita mengikuti gerakannya di samping. Aku yang terlalu lelah hanya berjalan santai di belakang sambil memainkan botol air minumku.

"Bisa stop, gak? Sudah magrib, jangan berisik," protesku ketika Ayu berteriak, "Berhenti! Gerak!"

Ayu menghentikan langkah, lalu menarik peluit dari mulutnya. "Memangnya, siapa yang akan mendengar? Lagi pula, jalanan sepi, kok."

Aku melirik ke jalanan besar yang saking lebarnya di bagi menjadi empat jalur dengan trotoar gundul sebagai pemisah di tengah-tengahnya. Hanya ada satu lampu yang menyala di kos-kosan seberang jalan yang berada tepat di belakang bukit rumah kotak, sementara bengkel dan rumah pemilik kosan terlihat tak berpenghuni untuk saat ini. Di sisi lain--tepatnya di sebelah kami--hanya ada bukit yang menjulang, dimana pada bagian atasnya hanya ada kegelapan di antara pepohonan yang berjajar. Kondisi jalanan benar-benar kosong, yang sebenarnya wajar karena memang jalanan ini walaupun luas dan lengang jarang ada yang melewatinya.

"Kamu masih kesal karena gak kepilih jadi pemimpin barisan, Mel?" Ita berkomentar.

Aku memutar mata. "Nggaklah. Mana mungkin. Lagi pula, itu udah seminggu lalu."

"Yee ... sapa tahu, 'kan?" Ayu merangkul lengan kiriku. Anak ini memang punya kebiasaan memeluk lengan siapa pun yang ada di sebelahnya.

Kemudian, kami mulai berjalan lagi tanpa ada suara peluit. Hanya ada keributan biasa di antara anak SD yang bercerita tentang apa saja yang muncul di kepala.

Sewaktu kami melewati pintu belakang rumah kotak itulah perasaan tidak enak menghantui.

Ita-lah yang duluan merespons. Dia membalikkan badan menghadap ke rumah di atas bukit. "Yu, Mel ...," panggilnya pelan, "tadi pintu rumah itu ketutup gak, sih?" tanyanya dengan jari telunjuk kiri menunjuk bangunan.

Ayu--yang masih merangkul lenganku--bertanya balik, "Apa yang tertutup?"

"Pintu rumah kotak itu."

Aku melirik takut-takut ke arah bangunan berwarna merah tersebut. Pintu belakangnya memang terbuka lebar. Walau demikian, yang ada hanya kegelapan di sana. Bahkan lebih gelap dibanding langit yang mulai kehilangan warna senjanya. Lalu, terdengar suara kucing yang mengeong beberapa kali.

Tanpa peringatan, Ita berlari menyeberang jalan. Bahkan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri seperti yang diajarkan oleh guru-guru kami. Aku dan Ayu langsung mengejar sambil berseru, "Ita! Tunggu!" secara bersamaan.

Mungkin, karena saking tiba-tibanya, aku kehilangan keseimbangan di trotoar dan menyebabkan kakiku terpeleset. Dadaku menabrak ujung trotoar. Kaos olahragaku sampai robek karenanya. Ayu membantuku berdiri, tapi tidak dengan Ita yang sudah mulai memanjat bukit lewat pagar kos-kosan.

"Ita! Jangan ke sana!" teriak Ayu sambil menuntunku berjalan. "Tu anak kesurupan apa, deh?" tambahnya penuh kesal ketika kami menyeberang jalan.

Kami memanggil-manggil nama Ita berulang kami sambil mengikuti jalur yang ia lalui untuk sampai ke halaman penuh ilalang bangunan kosong itu. Anak perempuan itu berhenti beberapa meter dari pintu belakang rumah yang terbuka lebar. Yang agaknya, membuatku sedikit lega karena dada dan kakiku yang sakit bisa sedikit beristirahat.

"Kamu kenapa, sih, Ta?" Ayu bertanya saat kami tiba di sebelah Ita. "Lari tiba-tiba kek begitu sampai gak liat kalo Melisa jatuh."

Aku hanya mengangguk sebagai respons.

"Kalian tidak dengar suara orang nangis?"

"Hah?" Aku dan Ayu berujar bersamaan. "Adanya juga suara kucing kek lagi kejepit," lanjutku.

Ita menoleh ke arahku. "Suara orang nangis, kok!" ucapnya penuh ngotot dengan mata yang terlihat hampir keluar.

Aku mundur satu langkah saking terkejutnya. Selama aku berteman dengan Ita bahkan sejak sebelum TK, dia tak pernah terlihat sangat marah seperti saat ini. Bulu kudukku berdiri seketika.

Ditambah lagi, ada suara barang jatuh dari dalam bersamaan dengan suara kucing yang berhenti mengeong.

Ita melangkah lebih dekat ke arah pintu.

"Kalian sedang apa di situ?"

Seruan seorang laki-laki membuatku menoleh. Seiring dengan suara rerumputan yang sedang ditembus, seorang pria berjubah puntung biru tua memunculkan diri. Di kepalanya ada peci putih, sementara lehernya dililit oleh sejadah. Pada tangan kanannya ada tasbih berwarna cokelat. Jelas bapak berjanggut tipis ini ini baru pulang dari masjid yang jaraknya sekitar 100 meter dari tempat ini.

"Kalian anak-anak siapa? Ngapain main-main di sini magrib-magrib?" 

"Eh, nggak, Pak!" Ayu menjawab lengkap dengan isyarat tangan. "Tadi anu ... itu ..."

Kuputuskan untuk jujur. "Tadi ada suara kucing dari dalam, Pak! Terus ada suara barang jatuh dan kucingnya berhenti mengeong!"

Si bapak mendengus. Lalu, dia mengangkat kepala dan melihat ke arah belakang kami. "Kamu cucu si Mbok, 'kan?"

Aku dan Ayu memutar tubuh hampir bersamaan dan melihat Ita sudah berdiri tepat di depan pintu.

Ita tidak menjawab.

Dan yang lebih aneh lagi, pintu rumah sudah tertutup rapat.

Namun, si bapak terlihat tidak peduli. Dia lalu menasihati kami bahwa seharusnya kami langsung pulang, tidak boleh singgah-singgah dan lain sebagainya. Bapak itu bahkan mengantar kami dengan menggunakan mobilnya. Ternyata, dia adalah pemilik kos-kosan dan merupakan salah satu pelanggan pijat dari nenek Ita yang biasanya kami panggil Mbok.

Keesokan harinya, Ita tidak pergi sekolah dan juga tak datang waktu latihan gerak jalan. Dua hari kemudian, aku melihat rumah Ita dibongkar dan mendengar kabar bahwa ternyata ia sudah pindah sewaktu absen di kelas kemarin. Aku tak pernah mendengar kabar Ita sejak saat itu, begitu pula Ayu yang jarak rumahnya lebih dekat dua rumah daripada rumahku.

Sampai sekarang, ketika aku melihat ke arah rumah itu, aku selalu bertanya-tanya. Seberapa dekat jarak tempat kami berdiri waktu dengan pintu belakang rumah kotak? []

Ketika Kita TerjagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang