16

10.9K 1.4K 298
                                    

Part ini sampai part 17c baru di benerin jadi kalau kalian baca terus komennya nggak nyambung abaikan Ok!  😁

Makasih 😊😊

****

Sialan! Kerjaan nggak kelar-kelar alamat gue lembur ini, duh padahal kan gue mau nyari baju.

Arumi menghela napas pelan. Gagal sudah rencananya beli baju padahal di mall itu lagi ada diskon. Riska dan Meilan sudah pulang sejak tiga puluh menit lalu, tinggal dirinya, Vera dan cowok geblek itu. Ini namanya udah jatuh ketimpa tangga, melihat pemandangan yang bikin mata sepet.

Kenapa mereka mesti ikutan lembur sih bikin sepet aja, nggak tau apa gue eneg liatanya mana duduk deketan gitu padahal masih longgar juga, lebay banget ngalahin anak-anak alay. Ya Allah boleh gak sih doain mereka yang jelek-jelek gitu.

Eh? Kok gue jadi sewot sih, terserah mereka lah mau deketan kek jauhan kek nempel cem perangko surat kek bodoh amat yang penting mereka nggak nganggu gue aja.

Bagi Arumi sore ini sangat menyebalkan, bagaimana tidak melihat dua orang yang tidak tahu malu bermesraan di depannya, sungguh membuatnya jengkel. Mana bisa ia selesaikan laporannya dengan cepat bila konsentrasinya pecah. Benar-benar bikin darahnya mendidih mau marah tapi sama siapa.

Tanpa sadar Arumi menekan tombol keyboardnya kuat-kuat sampai menimbulkan bunyi cukup keras. Bibirnya mengerucut sebal, hatinya panas melihat dua orang itu.

"Kenapa, Rum?" tanya Eru.

"Nggak pa-pa!" jawabnya ketus, ia berusaha fokus ke layar komputernya.

"Nanti jadikan, Ver?" Eru kembali menghadap Vera senyumnya ia persembahkan untuk Vera

"Jadilah! tapi mampir beli makanan dulu ya?"

Arumi memutar bola matanya malas, mulutnya mencibir, "genit!" ucap Arumi sangat pelan.

"Sabtu jalan yuk! Udah lama kita nggak jalan, ya...ya...."

"Boleh, kemana?" Vera memang menghadap ke layar komputer tapi Eru dengan menopang dagu dimeja Vera menatap penuh minat.

"Terserah aku ngikut aja," jawabnya

"Nonton atau kalo nggak main-main ke batu aja gimana?" sahut Vera dengan wajah berbinar-binar

"Boleh-boleh aku jemput jam delapan ya," Eru sengaja mengeraskan suaranya, ekor matanya melirik pada Arumi. Ingin sekali ia tertawa melihat wajah cemberut perempuan itu, sepertinya umpan yang ia lempar mulai menarik si ikan, "nanti aku yang ijin ke bos tenang aja, Ok!"

"Heum...duh pengen cepet-cepet besok deh, nggak sabar." rengek Vera sambil goyang-goyangkan lengan laki-laki itu. Eru mengacak-acak rambut Vera dengan sayang.

Tidak ada yang lebih menyebalkan selain jadi kambing congek ditengah orang berpacaran. Seperti sekarang ini Arumi hanya jadi pendengar setia tanpa dilibatkan dalam obrolan. Arumi semakin dongkol saat pria itu dengan telaten menyuapi Vera dengan camilan, aarrghh! Pengen rasa meraup itu muka Eru. 

Brak!

Arumi sudah tidak tahan lagi darahnya benar-benar mendidih mencapai sembilan puluh derajat celsius akhirnya ia menggebrak keyboard didepannya dengan keras sampai hampir jatuh. Sedikit melampiaskan kekesalannya, ia membuang napas kasar. Ia mengibas-ngibaskan kedua tangannya seolah-olah kegerahan.

"Lo kenapa, Rum?" tanya Vera, ia sudah siap pulang begitu juga Eru.

"Hah? Oh nggak pa-pa kok, tadi ada kecoa."

"Kami duluan ya, lo nggak pa-pa kan ditinggal sendiri?" Eru memakaikan jaketnya ke tubuh Vera. Dan itu dak luput dari perhatian Arumi.

Huh! Dulu aja nggak pernah tuh minjemin jaket tapi ini udah dipinjami dipakein lagi, dasar playboy cap gayung.

"Nggak pa-pa kok!" jawabnya ketus

"Kalo gitu kita duluan ya, byee,"

Sepeninggal Vera dan Eru, ia melanjutkan laporan yang kurang sedikit dengan menggerutu. Dirinya masih jengkel, sebal dan marah. Sudah hampir jam enam, ia harus cepat sebelum ketinggalan makan malam dengan orang tuanya.

Setengah jam kemudian dia baru keluar dari kantornya, lantai dua sedah kosong tadi setelah duo nyebelin pulang disusul pak Arlan tinggal dirinya sendiri. Lantai satu masih penuh dengan pekerja shift malam. Ekspedisi tempatnya bekerja melayani pengiriman dua puluh empat jam.

Ia tidak langsung pulang tapi mampir beli martabak manis di daerah ciliwung. Martabak manis pinggir jalan tapi rasa boleh diadu. Arumi hari ini benar-benar tertimpa sial, pagi-pagi Vera sudah duduk manis sarapan bersama bahkan orang tuanya tidak keberatan, dikantorpun mereka tidak pernah berjauhan dan harus tahan melihat kedekatan sahatnya dengan  pria geblek itu. Lalu dia harus lembur dan sekarang harus antri membeli martabak. Dia akan minta ayahnya untuk melakukan ritual ruwatan agar kesialan menjauh darinya.

****

Saat Arumi memarkirkan motornya di teras dari dalam terdengar suara tawa ayah, ibunya, Eru juga suara milik perempuan dan jangan bilang itu Vera. Ya Tuhan! Apalagi ini, tidak bisakah sehari saja rumahnya tenang tanpa celotehan mereka berdua. Ia merasa tersisih seolah dia orang asing.

Ia masuk dengan kantong plastik hitam di tangan kiri, dan benar tebakannya, "assalamualaikum!" Ia mencium  tangan kanan orang tuanya dan duduk disebelah Sadewo.

"Waalaikum salam. Kok tumben telat pulangnya?" tanya ayahnya.

"Lembur, Yah," jawabnya, "ini ada--"

"Cobain sayang martabak manisnya enak lho. Baru ada martabak enak dan murah kayak gini." Nisa menyodorkan kotak tersebut jadi Arumi mau tidak mau mengambil satu potong. Ini martabak langganannya ia sering beli tapi begitu sampai dirumah langsung dipindah ke piring.

Ia menggit kecil, "ibu beli?" tanyanya. Ekor matanya melirik kearah Vera dan Eru yang sedang bercanda mereka seakan lupa kalau di ruangan ini bukan mereka saja tapi ada dirinya, ayah dan ibunya. Sungguh bikin emosi!

Nisa tahu Arumi sedang memperhatikan secara diam-diam Vera dan Eru. Nampak jelas kekesalan di wajahnya, hanya saja Arumi pintar menutupi berlagak acuh.

"Vera yang beli," ujar Nisa, "lain kali belikan ibu martabak yang kayak ini ya, Rum." tambahnya

Arumi langsung menelan bulat-bulat martabak dalam mulutnya hingga ia tersedak, cepat-cepat ia berlari kedapur mengambil air minum segera ia habiskan dalam hitungan detik. Matanya memanas dan merah lalu air mata keluar dengan sendirinya.

Entah kenapa akhir-akhir ini dirinya jadi gampang nangis, moodnya naik turun macam ibu hamil. Ini seperti bukan dirinya. Arumi mencuci mukanya di kran tempat cuci piring. Ia tidak mau kelihatan abis nangis.

Ia kembali ke ruangan tengah, keluarganya seakan lupa kalau dirinya ada. Kantong plastiknya masih tetap diposisi semula, ia meraih tas juga kantong tersebut, "Arum naik dulu." pamitnya dan hanya dijawab anggukan sama Sadewo dan Nisa.

Sampai di kamar pecah tangis yang ditahannya. Semua sudah berubah, dimata orang tuanya hanya ada laki-laki itu. Andai dia pergi pun orang tuanya pasti tidak keberatan. Sepertinya keputusannya untuk kerumah kakaknya benar. Paling tidak disana kakaknya masih sayang sama dirinya.

tbc

Tau dah dapet apa feells-nya

Yang masih setia sama Arumi makasih banyak

Lope lope dah 😘😘
Mlg,5-10-17

JODOH ARUMI (SUDAH TERBIT) REPOST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang