ITACHI: Aku keluar dari ruangan besar dengan begitu banyak masalah, tidak ada yang penting. Pembicaraan penuh omong kosong tentang hidup, perkembangan perusahaan, keadaan ekonomi. Tidak ada yang menarik.
Hatake Kakashi berjalan di sampingku. Ia memberikan sebuah berkas baru, berisi proposal kepemilikan perusahaan dari salah satu sepupu jauh Ayah. Penawaran baru yang langsung kutolak. Langkah kaki kupercepat, masuk ke ruangan lain dengan sebuah meja, PC yang terus stand by, lemari dengan ribuan berkas, juga sebuah pot dengan bunga palsu—sepalsu dunia yang kutinggali.
Aku duduk di tempatku—singgasana seorang pewaris bisnis besar Uchiha, memandang langit-langit ruangan dengan warna gading dan emas sebagai bingkainya. Kupejamkan mata dan bayangannya muncul, wajah cantik yang membuatku berada di sini: kota tersibuk di Amerika Utara, New York.
"Itachi-sama, Anda memiliki jadwal meeting baru dengan para investor pangembangan resort pukul dua. Perlu saya booking tempat untuk makan siang?" tanya Kakashi, tangan kananku.
Pria berambut perak ini paham untuk berlaku sopan di dunia kerja. Di luar, Kakashi bisa menjadi sahabat baik yang tidak terlalu banyak menuntut. Berikan saja buku favoritnya, maka dia akan diam dan larut dalam bahasa yang tertata rapi dengan alur cerita yang membuatnya bahagia.
Aku mencoba menghela napas, tapi usaha itu tidak membantuku menyadari dunia ini nyata, karena aku merasa setiap detik yang kulalui adalah palsu. Semua dengan jadwal, bahkan waktu untuk sekadar duduk dan tidak memikirkan apa-apa adalah hal yang mewah.
Kakashi yang terkenal cepat tanggap bisa dengan mudah menerima sikapku yang pasif. Dia menyerahkan berkas lain. Kali ini dari Neji. Kuterima dan kubuka, kupelajari dan diakhiri dengan stempel Uchiha, tanda tanganku, maka tumpukan kertas ini menjadi berharga.
Ponselku berdering, begitu bahagia mendengar suara deringan yang memang telah kutunggu, sejak terakhir aku melihatnya. Tiga jam yang lalu, dengan gaun tidur putih dan keindahan memikat meski mata lelah menemani kecantikan dari senyumnya.
Suara indah itu menyebut namaku dengan panggilan khasnya. Hanya dia yang punya hak memanggilku dengan nama itu. Hinata ada di Central Park, menungguku. Inilah pelarianku, keluar dari neraka ini dan masuk ke dunia baru yang sama sekali berbeda.
"Batalkan pertemuannya. Aku tidak ada waktu."
Kakashi hanya tertawa pelan, mengerti bahwa aku selalu menghargai kebebasan.
Langkahku keluar terasa ringan, mobil hitam telah siap mengantarku padanya, sang ratu dalam istana kecil duniaku.
Hinata kutemui sedang duduk, sendirian. Musim dingin di New York sedingin di Tokyo. Jiwaku meronta meminta tubuhku untuk bergerak lebih cepat, semua bagian dari diriku merindukannya. Seperti ini juga saat pertama kali aku menemuinya di sini, Central Park, lima tahun yang lalu…
Hinata belajar di Juilliard, sekolah musik terkenal di New York. Begitulah keputusannya setelah resmi menjadi tunanganku. Aku tahu dia berusaha lari dari semua aturan yang mengikatnya, yang membuatnya sulit bernapas. Dia juga lari dari orang yang membuatnya merasakan sakit dari sesuatu yang seharusnya manis—adikku, Sasuke, orang yang dia cintai.
Atau haruskah kukatakan pernah dicintainya?
Hinata duduk dengan lembaran-lembaran partitur yang diletakkan disamping violin putih miliknya. Aku tiba sejak dua hari sebelumnya, tapi dia tidak menghubungiku meskipun Otou-san sudah mengabarkan kedatanganku ke New York. Baru hari ini aku punya waktu menemui Hinata.
Pertemuan ini begitu kunantikan. Aku meminta Kakashi mengurus semua masalah pekerjaan agar aku bisa keluar dari mimpi buruk duniaku untuk sekadar melihat dirinya yang nyata, yang paling nyata di antara ilusi dari semua bentuk kehidupan yang bernapas di Central Park dengan cuaca dingin bulan Desember.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Song
FanfictionDari waktu yang terus bergerak maju, terkadang kita tak sadar bahwa dunia berputar dengan alasan, seperti juga keberadan aku, kau, dan dia. Sasuke-Hinata-Itachi