Belaian sepi angin menyusup masuk ke dalam ruang keluarga Uchiha Palace melalui celah jendela yang terkunci. Cahaya dari chandelier besar menyebar kekuatannya, membuat bulan tersembunyi awan gelap yang bergerak didorong angin, malu untuk sekedar mengintip.
Ruangan yang hangat dengan perapian juga terbakar karena pergerakan emosi yang tidak setipis bayangan.
Dua pria Hyuuga kali ini mengambil bagian di ruangan yang sebelumnya familiar dengan tubuh-tubuh tinggi yang tegap dan bermata gelap. Tiga orang Uchiha menyimpan dalam-dalam pikirannya. Yang paling senior mengizinkan rasa takut terbenam, berharap sahabat baiknya tidak mengubah rencana yang sudah ditetapkan bersama. Putra pertamanya paham alasan pertemuan ini, namun cukup cerdas untuk menyimpan rahasia yang menjadi kunci utama untuk sebuah jalan keluar dari masalah besar yang kini terpajang. Yang paling bungsu berbeda, pemuda yang terlalu larut dalam usaha menggapai impian terakhirnya, tidak menyerah dengan mudah.
Sasuke akhirnya meminta Fugaku untuk melihatnya.
-Lihat aku sebagai seorang Uchiha. Bukan putra bungsumu, bukan adik Uchiha Itachi. Lihat aku sebagai manusia yang mencintai hidupnya dengan mencintai seorang wanita. Salahkah jika aku bilang aku akan bahagia jika ada yang tersakiti?-
Fugaku sadar, ini tidak akan selesai dengan ucapan, 'Ayah mengerti' atau 'Carilah wanita lain' atau yang paling sederhana, 'Lupakan Hinata'.
Yang bisa diberikan seorang Uchiha pada Uchiha yang lain adalah kesempatan. Fugaku juga sadar, bahwa Takdir yang kini berkuasa. Jika akhirnya Hiashi memilih untuk melepas Uchiha, maka kerugian akan membuang harapan Fugaku dari napas hidupnya.
Hanya ada satu hal yang menyisakan tenang di hatinya yang gundah. Jika ada satu kesempatan, siapa pun di antara dua putranya yang akan berakhir sebagai penerus Hyuuga, Fugaku harus rela. Cinta tidak bisa membuat semua orang yang terlibat di dalamnya menemukan bahagia. Di sini, Fugaku yakin, sebagai ayah, dia telah berusaha adil.
Pertanyaannya kini, Itachi atau Sasuke?
"Ini tidak masuk akal, Fugaku. Putriku sudah tahu sejak dulu orang yang akan menikahinya adalah putra pertamamu, dia tidak mungkin mengkhianatiku." Hiashi berbicara dengan nada tenang, ciri khasnya.
"Aku tumbuh dan besar dengannya. Aku tahu dia dan aku adalah sama." Sasuke mengungkapkan keberatannya dengan lantang. Kalimat berani bungsu Uchiha memancing tawa sinis dari Itachi.
"Kau bisa terus bermimpi, Adik Kecil."
"Jangan menganggapku anak kecil!" Sasuke tidak lagi ragu untuk memajang ekspresinya. Dia berdiri, siap melukai wajah tampan Itachi yang tanpa ekspresi.
Pembicaraan di antara para pria dari kedua keluarga mulai tidak terarah. Hiashi menghela napas. "Benarkah dia mencintaimu, Sasuke-kun?" Sang kepala keluarga Hyuuga bertanya.
Ada begitu banyak kata yang bisa mewakili jawaban, tapi Sasuke hanya mampu menganggukkan kepala.
Fugaku bisa melihat kekecewaan di mata bersih Hiashi. Gundah yang awalnya sempat berkurang, berkuasa lagi kini. "Hiashi, tenanglah."
Jika ada gundah di hati ayahnya, Sasuke justru merasakan kebebasan baru. Dia tidak bisa menyangkal, kemungkinan Hiashi mengabulkan keinginannya semakin terbuka lebar. Semua manusia yang berbagi udara di ruangan indah bermandi cahaya terang, paham, jiwa muda Sasuke siap melakukan apa saja demi hasratnya yang tidak lagi terbendung.
Hatinya terlalu sempit untuk menampung semua jenis emosi yang berkaitan dengan putri Hyuuga, Hinata.
"Otou-sama," Itachi membuka mulut, panggilan dia tujukan pada Hiashi. Mata pekatnya menatap lantai saat dia terdiam sejenak. Hiashi yang sebelumnya menunduk, mengangkat wajahnya dalam satu helaan napas.
Ketenangan menjadi aspek yang terus melekat dalam diri Itachi. Ini tentu menjadi kekalahan di sisi Sasuke. "Pernikahan ini akan tetap berlangsung." Putra sulung Fugaku menarik napas panjang, menatap lurus mata tua Hiashi yang bertanya. "Hinata mengandung anakku." Sekejap, Itachi bisa melihat kekecewaan di sepasang mata Hyuuga.
Kalimat sederhana Itachi memaksa jiwa Sasuke lepas dari tubuhnya. Dia hanya menutup matanya sebentar, saat dia membuka matanya lagi, semua bentuk harapan yang sempat terbentuk, musnah.
"Kau sudah terlalu sering melukainya, Sasuke. Kau pikir kenapa dia pergi ke New York? Bukan untuk menghindarimu, tapi melupakanmu. Aku berusaha keras selalu ada di sisinya, menjadi orang yang menutup lukanya. Cintaku padanya melebihimu. Kau pikir aku tidak tahu betapa dia menyayangimu? Bahkan hingga kini, aku masih berusaha menunjukkan perasaan itu. Tidak ada yang kalah atau menang, Sasuke. Hinata bernilai lebih dari sekadar hadiah untuk pemenang."
"Kau menggunakan cara licikmu, Nii-chan!" Amarah menjadikan Sasuke sebagai budaknya. Pemuda itu melangkah maju hendak melayangkan satu pukulan ke arah Itachi. Fugaku menghalaunya dengan lihai. Sasuke akan mempermalukan dirinya sendiri bila ia melakukan itu di depan mereka semua. Keputusannya tidak lagi bisa diubah. Fugaku telah memberikan Sasuke kesempatan, namun seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, takdir adalah satu-satunya hal yang memberikan hasil akhir. Fugaku kini hanya bisa menghentikan putranya sendiri dari kesalahannya.
Itachi adalah jawabannya.
Fugaku menahan bahu Sasuke. Putra bungsunya menepis kebaikan ayahnya, dan memalingkan muka.
Itachi tak ingin melukai adiknya. Namun bukan berarti dia mengalah. "Ini bukan caraku mengikatnya. Kami mulai memahami arti di balik semua peristiwa ini. Aku tidak akan pernah membuat Hinata merasakan kepedihan. Aku akan lebih dulu mati sebelum membiarkan Hinata merasakannya karena aku tidak akan sanggup melihatnya menderita."
Hiashi hanya bisa memberikan Uchiha Itachi kesempatan untuk membuktikan kalimatnya.
Keberanian putra Uchiha yang lain datang terlambat. Ikut campur Sasuke dalam masalah ini tidak lagi berguna. Hinata pernah begitu mencintainya dan Sasuke justru memintanya untuk menghentikan perasaan itu.
Sang pemuda yang akhirnya berani menentang, telah kalah dari senjatanya sendiri.
Itachi keluar, memahami perasaan sakit yang dirasakan Sasuke, menyesal karena mencintai wanita yang sama, mengerti tanggung jawab besar yang diserahkan Hiashi padanya.
Saat kakinya menginjak lagi lantai dingin koridor Uchiha Palace, Itachi sadar keabadian itu tidak ada. Satu bukti nyata hadir saat dia merasakan hangat yang terluka. Warna merah yang senada dengan warna kelopak mawar, menetes pelan dari hidungnya.
-:-
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Song
FanfictionDari waktu yang terus bergerak maju, terkadang kita tak sadar bahwa dunia berputar dengan alasan, seperti juga keberadan aku, kau, dan dia. Sasuke-Hinata-Itachi