Tur sekolah yang awalnya menjadi kegiatan yang dibenci Sasuke, berubah menjadi hal baru yang menyenangkan. Di musim panas saat keduanya remaja, hal yang selanjutnya ditanyakan Sasuke pada Hinata—
setelah nama dan sebuah ajakan sederhana untuk sekali lagi menikmati menara Tokyo—
hanya satu: "Nama keluargamu?"Sasuke ingat wujud sang peri lollipop, tapi sulit baginya mengingat nama keluarga yang memang tak sempat terucap di pertemuan pertama mereka saat usia mereka baru lima tahun. Hinata tidak seperti Sasuke yang bangga pada darah Uchiha-nya, atau mungkin gadis pemalu itu terlalu gugup hingga lupa untuk menyempurnakan salam perkenalan.
Saat Hinata menyebut kata Hyuuga, ada kelegaan yang diekspresikan Sasuke dengan menenangkan punggung dan sebuah helaan napas yang ringan. Dia tahu detik yang sama, Uchiha tidak akan keberatan dengan Hyuuga. Aneh, memang, jika bahkan di awal pertemuan yang kedua, Sasuke telah memikirkan masa depan yang begitu jauh. Mereka bahkan belum resmi sebagai teman, kenapa ada pikiran bahwa Hyuuga adalah nama keluarga yang akan menerima sambutan di Uchiha?
Hal yang kemudian menjadi perhatian utama oleh sang remaja Uchiha adalah: bagaimana untuk bisa lebih akrab dengan gadis berambut pendek yang sering menundukkan kepalanya dan bicara dengan suara yang begitu pelan. Gaara tidak punya jawabannya, Itachi bukan tujuan yang bisa diandalkan, Temari mungkin masih bisa ditolerir.
"Belikan dia sesuatu."
"Apa?"
"Kau harusnya tahu apa yang disukai anak perempuan."
"Kau, kan perempuan," Sasuke bilang, matanya seolah berkata, seharusnya itu hal mudah untukmu.
Temari menyilangkan dua lengan di depan dadanya, "Lalu kenapa?"
Dengan wajah tenang, Sasuke hanya bilang, "Kalau begitu kau tahu."
"Kuberitahu yang paling standar. Cokelat, bunga, permata, berlian, uang. Semuanya bagiku tidak menarik. Kuyakin Hinata juga tidak akan sampai meneteskan air mata karena kau memberinya hadiah-hadiah termahal sekali pun."
"Jadi?"
Temari tertawa sebentar, mengejek kepolosan Sasuke yang dianggapnya konyol. Beruntung yang berdiri di hadapannya adalah Sasuke.
Jika Gaara yang berdiri dan bertanya tentang cara mendekati seorang gadis manis seperti Hinata, Temari akan segera mengangkat telepon untuk meminta Hinata mencari perlindungan, karena Gaara terlalu liar dan susah dikendalikan.
"Tanya saja langsung padanya. Gunakan mesin komunikasi yang diciptakan Alexander Graham Bell, ajak dia keluar. Ebisu, Shibuya, Ueno, atau museum..." Jeda dimanfaatkan Temari dengan mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu selera Hinata. Yang kutahu dia berbeda dari gadis kebanyakan," lanjutnya.
Di awal minggu, Sasuke duduk di kursi belakang Rolls Royce dan memandang telapak tangannya yang kosong. Gerbang sekolah khusus putri tempat Hinata belajar, hanya beberapa meter dari sedan hitam mewah yang interiornya luas dan tentunya lengkap.
Sasuke memutuskan untuk tidak menikmati acara TV dari layar datar di langit-langit mobil dan memusatkan fokusnya pada pergerakan para siswi yang sering berbagi tawa selama menyusuri sisi jalan menuju mobil yang telah menanti mereka. Semua orang di mata Sasuke terlihat serupa: rok mini, blus ketat, tas bermerek, potongan rambut terbaru bahkan berwarna, sepatu terbaik, dan perhiasan yang menyilaukan.
Hinata berjalan paling belakang, tenang dan tidak suka mencari perhatian. Langkahnya pelan dan seringkali terhenti saat matanya memandang halaman sekolah yang baru memunculkan kuncup bunga, bahkan tunas baru di antara rumput hijau. Dia akan berdiri, memeluk tas dan terus memandang seolah satu kedipan bisa membuat warna atau tekstur tanaman berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Song
FanfictionDari waktu yang terus bergerak maju, terkadang kita tak sadar bahwa dunia berputar dengan alasan, seperti juga keberadan aku, kau, dan dia. Sasuke-Hinata-Itachi