Sad Love Song

3.8K 228 42
                                    

Memandang susunan kertas di hadapannya, Itachi menanti dengan sabar laki-laki berjubah putih yang masih memfokuskan perhatiannya pada layar yang merekam pergerakan detak jantung Itachi. Bentuknya seperti janin, melengkung dan abu-abu, berdenyut-denyut seperti mahluk kecil yang bernyawa. Tapi itu jantung, hanya sebuah jantung.

Pria berkaca mata itu mengetuk dagunya pelan saat matanya terus tertuju pada satu titik di mana katup yang seharusnya rajin bekerja memompa darah, terdiam pasif. Layar berwarna dasar gelap itu memajang lukisan mengagumkan berisi informasi yang diperlukan untuk menemukan penyebab yang menjadi masalah utama.

"Pembuluh darahmu pecah," dia bilang, menoleh sebentar pada Itachi yang akhirnya mengangkat wajahnya.

"Apa?"

Kali ini sang pria berkacamata menarik napas panjang sebelum mengembuskannya dengan satu pertanyaan, "Kau tidak tahu?" Dia kembali duduk berhadapan dengan Itachi, terpisah meja kerjanya yang berantakan. Seorang asistennya melangkah mendekat, meletakkan tumpukan map yang menambah beban di atas meja kerja sang dokter.

Pagi itu Kabuto tidak dalam keadaan prima. Dia tak bisa tidur selama tiga hari karena kondisi seorang pasiennya yang mendadak menurun pasca operasi. Timnya telah melakukan operasi besar seminggu yang lalu. Mereka mengamputasi sebagian besar waktu mereka demi dedikasi. Seharusnya minggu ini mereka lebih tenang.

Kabuto memijit pelan batang hidungnya, melepas kacamatanya dan membersihkan lensanya yang buram. Dia mengenakan lagi kacamata itu, memandang Itachi dengan ekspresi datar. "Hypertrophic Cardiomyopathy atau HCM. Apa anggota keluargamu ada yang memiliki kelainan jantung sepertimu?"

Itachi tidak tahu pasti jawaban yang diperlukan Kabuto, laki-laki teman sekolah yang kini bertanggung jawab di bagian Kardiologi rumah sakit Central Tokyo.

"Apa maksudmu aku akan mati?"

Mendengar pertanyaan konyol Itachi, dokter muda berambut terang itu hanya bisa tertawa pelan, "Kita semua hidup untuk mati Itachi. Kau bukan suatu pengecualian untuk hal itu. Yang kaualami kemarin hanya karena ada pembuluh darahmu yang pecah disebabkan temperatur tinggi yang terjadi di beberapa sirkuit jantungmu. Kebetulan yang pecah ada di sekitar hidungmu.” Kabuto mendorong kacamatanya ke atas, mengerjap mengusir kantuk yang menyerangnya. “Bisa saja kau pingsan atau bahkan koma bila kerusakan terjadi di otak. Kau beruntung, kurasa.”

Dalam kata lain: ya, Itachi akan mati.

"Berapa lama sampai kematian merenggut nyawaku?"

Kali ini Kabuto memutuskan untuk serius, dia menyandarkan siku di atas meja berwarna almond terang, mengizinkan dua telapak tangan untuk berkumpul seolah berdoa. Mata gelap di balik lapisan kaca bening lensa kacamatanya menatap lurus mata lelah Itachi. "Kita bisa buat pencegahan untuk itu. Kau bisa mati hari ini jika memang jawaban itu yang kau perlukan untuk pertanyaanmu." Kabuto membuat jeda sejenak sebelum bersandar di kursi nyamannya, "Kau bisa saja tersedak saat menikmati tempura atau tuna di sushi-mu kemudian mati dengan wajah biru, atau tertabrak mobil yang dikendarai seorang pemabuk. Semua kemungkinan ada, tapi jika kau menyerah hanya karena HCM, kau jelas bukan Itachi yang kukenal."

Masalah paling nyata yang kini hadir di hadapan Itachi adalah: bagaimana dia akan menyampaikannya pada Hinata?

.

.

.

"Yang ini?"

Hinata menoleh sekilas ke halaman lain Teen Vogue edisi Mei, akhir musim semi. Dia tersenyum seraya menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan Hanabi.

"Kenapa tidak?"

Teen Vogue berbaring di pangkuan Hanabi. Remaja Hyuuga berambut gelap itu merasa dia ahli soal pakaian. Dan kakaknya adalah alasan utama ia memiliki pemikiran itu. Halaman 112 masih memajang gaun lain yang bisa menjadi bahan pertimbangan bagi Hinata dan rencana makan malamnya dengan keluarga Uchiha.

Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang