-1-
ANAK HITAM
1956...
Terakhir kali, Aini mengingat orang itu sebagai bocah pemalu, sama dengannya. Tapi kini tidak lagi. Yang ada dalam kepalanya begitu nama orang itu disebut adalah bukan bocah sepuluh tahun penghafal Al-Quran dan, yah, tampan. Bukan sama sekali. Yang ada dalam kepalanya begitu nama 'Yusuf' disebut hanyalah; bocah tengik—meski kenyataannya awalnya teman-teman Yusuf lah yang membuat perilaku orang itu berubah drastis dari si lugu, menjadi si tengik.
Guru-guru di sekolah maupun pendidikan pondok sudah paham betul bagaimana kucing-tikus-nya mereka. Kalau nama Aini sudah disebut, pasti ada Yusuf di dalamnya, juga sebaliknya. Tapi bukan dalam artian bagus seperti saling suka, dijodohkan, atau alasan positif lainnya. Di sekolah formal dan pondok, kelakuan dua anak manusia itu hanyalah saling jahil-menjahili, ledek-meledek, dan adu-mengadu. Dan yang paling parahnya; bersaing di prestasi sekolah dan pondok meski mereka berbeda tingkat. Yah, tak pernah ada habisnya.
Begitupun hari ini. Di acara perpisahan sekolah, di hadapan 150 wisudawan plus orangtua/wali murid tingkat M.I, MTs. bawah, dan MTs. atas, mereka membawa-bawa persoalan pribadi itu dalam bentuk satu kalimat sederhana yang diulang dua kali.
"Anak hitam lagi nyanyi! Anak hitam lagi nyanyi!!"
Muka Aini langsung merah padam, tahu beberapa guru ada yang memandang mereka berdua secara bergantian dengan dengusan yang menyusul. Ia yang sedang berada di panggung—menyanyikan salah satu lagu daerah tentang perpisahan, berduet dengan teman sekelasnya; Iis—jelas tak bisa melakukan apa-apa untuk meredam suara itu.
Dari sisi kanan ruangan serba guna ini, Yusuf kompak mengomando teman-temannya berteriak, tak peduli kalau teriakan itu tak sopan sama sekali. Ia terlihat bebas meluapkan 'kebenciannya' terhadap Aini dari kalimat-kalimat itu. Kesenangan dan—bahkan—kebahagiaan yang amat sangat, terlihat dari wajahnya karena gadis itu tengah berada dalam keharusan menyelesaikan lagu.
Tapi di balik 'ketidak-berdayaan' Aini itu, semua orang yang sudah mengetahui kisah mereka akan bisa menebak kelanjutan dari teriakan kata-kataan itu. Aini akan menabuhkan genderang perang pada Yusuf, lebih keras daripada sebelumnya. Sudah pasti.
***
BRAK!
Seisi kelas tiga MTs. atas yang hanya berjumlah tujuh orang murid laki-laki itu kompak menoleh ke arah pintu. Pintu kelas mereka baru saja didobrak dengan tenaga laki-laki, walau nyatanya yang melakukannya adalah seorang perempuan. Dan bagai melihat hal horor, keenam pasang mata di dalam ruangan itu memandang satu sosok di ambang pintu dengan takut-takut. Mata beralis tipis itu memandang seisi ruangan dengan murka, seperti biasa.
Tanpa butuh waktu lama, enam orang lain di ruangan ini kabur ke luar—ngeri dengan apa yang akan dilakukan Aini jika mereka terus berdiam diri walau dalam kelas mereka sendiri.
Sementara itu Aini tak menghiraukan keenam orang itu karena memang targetnya hanyalah satu orang utama. Si otak kata-kataan itu. Diekori Iis, Aini memandang Yusuf dengan geram sambil mendekatinya. Pemuda itu tengah konsentrasi membaca buku Ilmu Pasti—salah satu mata pelajaran mereka, meski bahkan Aini sudah paham betul Yusuf tak pernah benar-benar membaca buku itu kalau 'pose' kegiatannya dilakukan di saat seperti ini. Itu hanya akal-akalan Yusuf agar ketika Aini 'menindaknya', lalu ada guru yang lewat, ia bisa mengadukan gadis itu ke guru terkait dengan tuduhan telah mengganggu kegiatan belajar orang lain. Dengan begitu, Aini lah yang kena hukum.
KAMU SEDANG MEMBACA
YUSUF & AINI [Move to Dreame]
Historical FictionAku tak pernah berpikir akan mendapatkanmu. Ya, kamu; seorang pria, ayah, suami, yang luar biasa bagiku dan anak-anak. Kutulis ulang kisah kita ini dengan cinta, agar orang-orang tahu seperti apa sebenarnya cinta sejati yang di zaman sekarang termas...