-2-
INSIDEN HAWU
KARENA kemarin yayasan sudah mengadakan acara wisuda sekaligus perpisahan, maka hari berikutnya dinikmati murid dan santri dengan berlibur di rumah masing-masing. Tak jauh berbeda dengan mereka, Aini meninggalkan kamar pondok dan pulang ke rumahnya yang tak jauh dari sana.
Hari ini, di hari pertama liburan sekolah dan pondok yang akan berlangsung selama dua minggu ke depan, di rumahnya akan diadakan makan-makan, katanya. Aini tahu persis ia akan disibukan dengan aktivitas dapur begitu tiba di rumah. Tapi kalau itu artinya ia bisa bercengkrama kembali bersama keluarganya—terutama Kak Umayyah—kenapa tidak?
Selain orangtuanya yang masih lengkap, Aini memiliki empat kakak laki-kaki dan dua kakak perempuan yang semuanya masih belum menikah. Sebagai anak bungsu dari sepasang ayah dan ibu yang bekerja, kakak-kakaknya adalah figur dan tempat curhatnya sehari-hari. Kak Umayyah bisa dibilang adalah salah satu kakak favoritnya dalam bertanya-tanya soal urusan dapur dan keputrian. Aini kecil menemukan figur umi-nya dari Kak Umayyah yang kini berusia sama dengan Yusuf dan menempuh pendidikan di sekolah negeri.
Aini masih ingat sebagian besar masa kecilnya diisi dengan diskusi soal apa saja bersama Kak Umayyah. Bahkan bisa dibilang, ia menghormati satu orang itu melebihi kakak-kakaknya yang lain. Sejak mulai mondok pada umur sepuluh, tiga tahun yang lalu, Aini paling merindukan kakak perempuannya yang satu itu.
"Assalamu'alaikum!" Kini, salam itu menggema riang ke seisi rumah. Begitu memasuki rumah panggung itu, Aini menghambur ke pelukan umi-nya yang menyambut di ruang tamu, terlihat sedang beres-beres rumah. Dari kegiatan satu itu saja, Aini sudah tahu persis kalau acara makan-makan kali ini lebih dari makan-makan silaturahmi keluarga dalam rangka musim liburan. Akan ada yang berkunjung, mungkin saja?
Tak lama kemudian, seseorang ke luar dari kamar Aini. Kak Umayyah. Ia tersenyum lebar melihat kepulangan adiknya yang tepat waktu.
"Kirain mau menetap di pondok." candanya, seraya menerima salam hormat Aini. Bercandaan itu ditanggapi acuh saja oleh Aini, karena ia lebih memilih meluapkan kangennya dengan memeluk erat Kak Umayyah. "Ni kangen tauk."
"Aku juga," Kak Umayyah membalas dalam kekehan. Tersanjung rasanya bisa mendengar ucapan sejujur itu dari seorang Aini.
Ketika pelukan dilepas, Aini memandang kakak dan uminya bergantian. "Abi sama yang lain mana?" —Maksud Aini adalah abi dan keempat kakak lelakinya.
"Mereka lagi ke kebun, panen beberapa buah dulu untuk suguhan nanti malam." jawab uminya. "Nanti malam kades dan keluarganya mau silaturahmi ke sini. Terus ada beberapa alumni dan keluarga santri juga yang mau bertamu sore ini. Jadi kita masak cukup banyak di dapur."
Ah, makan besar!, batin Aini bersorak seraya menampakan senyum lebar. Ia paling suka kegiatan satu itu. Bukan hanya soal makan-nya, tentu saja, tetapi juga akan banyak orang baru dan penting yang bisa ditemuinya hari ini. Mewarisi lingkup pergaulan dan keterampilan bersosial yang dimiliki orangtuanya, Aini pun termasuk pribadi periang yang mudah bergaul dengan siapa saja.
"Yuk, sama umi bantuin Kak Yanti di dapur. Biar Kak Umayyah yang beres-beres rumah." Uminya berkata lagi, kali ini memberikan instruksi langsung kepadanya.
Tanpa membantah, Aini mengiyakan instruksi itu dengan riang, "Siap, Mi!"
Namun bagai gayung yang tak bersambut, kedatangannya ke dapur sepertinya merupakan sesuatu yang 'agak salah' jika dilihat dari siapa saja yang ada di dalamnya.
Aini menghentikan langkahnya di pintu, cemberut saat bersitatap dengan wajah putih itu lagi. Ngapain, sih, dia di sini??
"Suf! Jagain itu apinya hei!"
Bentakan khas perempuan yang baru saja keluar dari mulut Kak Yanti membuat orang itu terfokus lagi ke pekerjaannya di sini: menjaga api yang sedang menyala kecil di dalam hawu.
"Ah, Aini. Sini, tolong masukin kangkung ke panci di situ, tuh." Kak Yanti yang sedang mencuci potongan daging itu berkata dari tempat cuci di sudut dapur mereka. Kemudian ia menoleh sedikit pada Yusuf yang masih setia di hadapan hawu, "Buka tutupnya, Suf."
Yusuf melaksanakan suruhan itu tanpa kata, begitupun Aini dengan pekerjaannya sendiri. Setelah Aini selesai dengan kangkungnya, terdengar suara Kak Umayyah dari depan. Lantang.
"Umi! Abi datang! Bawa potongan kayu buat dibakar!"
Seisi dapur sama-sama tahu apa artinya itu. Umi Aini yang tengah mengurus potongan tempe, menoleh pada Yusuf, "Ke luar dulu, yuk. Tolong potong dan sekalian bawain kayu-kayu itu." Kemudian beliau beralih kepada Aini, "Kamu urusin hawu dulu ya sebentar."
"Iya, Mi." Aini mengangguk saja dan mengambil alih peniup hawu itu sementara sebelah tangannya meratakan rebusan kangkung di dalam panci.
Dan, benar saja, tidak lama. Tak sampai setengah jam, Yusuf sudah kembali membawa lima puluh potong kayu berdiameter sepuluh senti. Kayu-kayu itu diletakan di balik pintu belakang dapur. Dari sudut matanya, Aini bisa melihat Yusuf kembali mendekati hawu.
Dalam hatinya ia menimbang—mau memberikan peniup ini kepada orang itu dan mengambil alih kegiatan dapur yang lain seperti menumbuk bumbu, misalnya? Atau ingin tetap berada di balik kompor tradisional itu.
Akhirnya Aini diam, memilih opsi kedua. Mati-matian ia menahan diri agar tidak memandang wajah putih yang sedang mengamati api itu. Tapi kemudian satu kalimat keluar dari Yusuf. Sukses membuatnya menoleh.
"Sini, ana saja yang tiup. Nanti anti sesak nafas, lagi."
A—? Seketika Aini kehilangan kata-kata untuk membalas. Ia mati kutu di hadapan teman kecilnya sekaligus musuh abadinya ini. Kehadiran Kak Yanti yang jelas-jelas mendengar perkataan Yusuf itu makin membuat Aini tak berkutik. Salah-salah membalas, ia bisa menjadi bahan godaan Kak Yanti dan Kak Umayyah semalaman nanti.
Seolah menyahuti dugaan benaknya barusan, benar saja, ketika sudut mata, Kak Yanti tersenyum simpul di sela kegiatan memotong bawangnya.
Haduh. Alhasil Aini, keki sendiri, jadi membalas ucapan 'tumben' Yusuf dengan tindakan. Ia menyerahkan peniupnya, benar-benar tanpa kata.
Namun sebelum sempat Aini beranjak untuk mengerjakan hal yang lain, Yusuf sudah berulah.
Kuat-kuat, ia meniupkan udara melalui peniup hawu itu, sehingga debu bakaran hawu yang hitam mengotori wajah Aini. Silakan tebak apa kelanjutannya. Wajah hitam manis itu berubah merah padam. Mulutnya seperti berancang-ancang untuk memuntahkan kata-kata kasar.
Dari hadapan talenan, Kak Yanti menutup kupingnya rapat-rapat begitu satu teriakan terdengar.
"YUSUF!! AWAS KAMU!"
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
YUSUF & AINI [Move to Dreame]
Historical FictionAku tak pernah berpikir akan mendapatkanmu. Ya, kamu; seorang pria, ayah, suami, yang luar biasa bagiku dan anak-anak. Kutulis ulang kisah kita ini dengan cinta, agar orang-orang tahu seperti apa sebenarnya cinta sejati yang di zaman sekarang termas...