5# YUSUF & AINI

4.2K 200 0
                                    


-5-

PERTENGKARAN HEBAT JILID SATU


Maret 1960...

Aini hanya bisa membeku di hadapan abinya. Kebahagiaannya yang membuncah karena baru saja lulus MTs dan sekolah pondok, juga bungahnya karena akhirnya ia bisa naik kereta penumpang ke Bogor untuk pertama kalinya, menguap begitu saja.

Niat melanjutkan sekolah yang baru saja terlontar dari mulut Aini—lengkap dengan pilihan jurusan keguruannya—tidak direstui abi. Seisi ruang tengah pun terdiam. Keputusan yang seolah terlontar tanpa berpikir panjang dan menimbang-nimbang dahulu itu membuat kernyitan Aini keluar tak lama setelahnya. Hatinya tak terima, menuntut abi mempertimbangkan ulang keputusannya itu.

Abinya baru saja mengatakan Aini tak bisa melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya. Opik yang diwajibkan perkuliahannya di Hukum Syariah untuk ikut studi banding ke Mesir, jelas memerlukan banyak biaya. Belum lagi pendidikan Imam, dan Opik sendiri, yang juga masih menjadi tanggungan abi. Jadi jawaban dari keinginan Aini itu adalah tidak. Aini tidak bisa bersekolah lagi.

"...Maafkan abi, Nak."

Kalimat diucapkan sosok setengah abad di hadapannya itu menusuk sudut hati Aini. Sungguhan, ia ingin marah, menyela, menyanggah, atau apapun itu asal abinya bisa menarik keputusan itu. Tapi kalimat barusan bagai intonasi final untuknya. Umi, Opik, dan Imam pun seperti ikut tak mendukung kemauannya melanjutkan sekolah. Mereka terdiam begitu saja mendengar kesungguhan ucapan abi.

Sementara itu, Kak Umayyah berbeda. Ia yang baru selesai mencuci piring bekas makan malam mereka, bergabung dengan orang-orang di ruang tengah. Memecah kesunyian, Kak Umayyah mengelus pundak Aini dan memandang abinya dengan tenang.

"Bi, apa nggak sebaiknya Aini dibolehkan melanjutkan sekolah? Kak Yanti kan juga sambilan bekerja. Jadi menurut Aya Aini juga—"

"Yanti bekerja dan melanjutkan pendidikan saat sudah menikah, Nak. Suaminya yang membolehkan. Lagipula daripada abi melihat Aini sekolah sambil berlelah-lelah bekerja di kota seberang, lebih baik dia dinikahkan dulu saja."

M-menikah..? Mulut Aini sungguhan kelu untuk mencampuri sanggahan Kak Umayyah itu. Abinya sudah mengharapkan nasib yang sama terjadi padanya. Aini harus menyusul Kak Yanti yang sudah menikah, dan Kak Umayyah yang sebentar lagi dikhitbah. Aini sungguhan tak ditakdirkan untuk sekolah.

"...Umur segini itu rawan, Aya." Dari hadapannya, Aini sudah tak mau menyerap perbincangan mereka lagi. Ia makin diam saat abi melanjutkan, "Banyak yang bisa menggoda dia di kota sana—apalagi tanpa bimbingan orang terdekatnya."

Tak menyerah, Kak Umayyah mendebat alasan abi 'yang sebenarnya' itu, "Aya bisa temani Aini merantau."

Aini menoleh kepada kakak tersayangnya itu, terharu dengan pembelaan yang sampai segitunya. Namun garis wajahnya kembali melemas ketika Imam menimpal dengan ketidak-setujuan yang lebih dari ngotot.

"Dengan kalian yang dua-duanya perempuan? Nggak, Kak. Kakak juga sebentar lagi mau dikhitbah sama putra ponpes Sagaranten. Jadi, Imam jelas nggak setuju."

Kemudian mata elang sekonyong-konyok terarah kepada Aini, memandang adik bungsunya itu dengan kurang suka. "...Dah, kamu jangan muluk-muluk. Bisa bersekolah sampai MTs. atas saja harusnya sudah kamu syukuri. Apa susahnya kamu turuti perkataan abi, hm?"

Gerah dengan perkataan ketus abangnya itu, Aini jadi kelepasan berucap dengan nada tinggi, "Tapi kalau aku bisa, kenapa enggak?!"

Seketika kebisuan makin terjaga di ruangan ini sementara luapan amarah Aini terus berlanjut.

YUSUF & AINI [Move to Dreame]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang