-3-
KEKAGUMAN AINI
HARI beranjak sore. Tetamu sudah mulai berdatangan ke rumah abi Aini—Haji Sholeh, atau yang oleh para alumni dan ustadz-ustadzah yayasan biasa dipanggil Buya. Mereka membawa buah tangan bermacam-macam, dari mulai kue kaleng sampai makanan-makanan sederhana.
Aini ikut menyambut beberapa orang pertama yang tak ia kenal dengan mengantarkan minuman dan makanan ke ruang tengah rumah. Bersama Kak Umayyah, senyuman kompak ia lemparkan kepada mereka semua demi melestarikan adat kesopanan puteri Haji Sholeh.
Obrolan demi obrolan basa-basi nan klise itu tercipta dalam rangka beramah-tamah. Anak lelaki keluarga ini pun tak luput berinteraksi dengan mereka semua, memperluas relasi, demi mendapat kesempatan dilirik untuk bekerja juga, masalahnya. Intinya, hingga sore selesai, Aini bisa memastikan ramah-tamah itu belum habis. Masih ada lagi yang akan datang, selain Pak Kades tentunya.
Tak terasa, adzan magrib berkumandang. Seperti biasa, jendela dan pintu ditutup-tutup untuk menunjukan penghuni rumah sedang tidak bisa diganggu. Keluarga besar itu—plus satu orang tambahan—kompak menggelar sepuluh sajadah di ruang tengah rumah. Tak lama, Hasan, anak lelaki sulung, mengumandangkan iqamah.
"...Allahu akbar," Abi memulai sholat tiga rakaat itu.
Dengan khusyuk, rakaat demi rakaat ditunaikan. Seusai sholat, kegiatan dilanjutkan dengan wirid dan mengaji bacaan masing-masing di hadapan abi. Waktu ibadah mereka hingga sholat isya' selesai ditunaikan, tak terganggu salam tamu abi. Mereka paham betul baru bisa mengunjungi rumah ini saat jam setengah delapan malam nanti.
Kemudian setelah perlengkapan sholat dan mengaji diangkat, Hasan, Basri, Imam, dan Opik kembali menggelar suguhan untuk para tamu. Sementara itu Yusuf yang masih tinggal, membantu abi di belakang dengan beberapa ikan hidup yang mau mereka bakar, besok.
Kehadiran satu sosok itu sampai se-larut ini membuat Aini jadi bertanya-tanya; mengapa ia tak pulang ke rumahnya sendiri?—karena yah, Aini tak mau kembali kelepasan mengeluarkan mode gaharnya di depan tamu apabila Yusuf berlaku jahil kepadanya. Seperti insiden hawu tadi pagi, misalnya?
Tapi sore tadi, ketika Yusuf dan Opik keluar sebentar ke kolam untuk menangkap ikan-ikan itu, umi bilang padanya kalau Yusuf tidak pulang karena harus mulai mengurusi persyaratan mengikuti pendidikan pelatihan ikatan dinas agar seusai sekolah bisa langsung bekerja. Ya, berbeda dengannya, Aini ingin melanjutkan jenjang MTs. atas-nya ke pendidikan keguruan, barulah ia bekerja di dinas pada posisi yang 'lebih atas'. Lagipula Aini ingin berlama-lama dengan keluarga besarnya ini, ketimbang harus cepat-cepat menjadi 'dewasa' dengan bekerja begitu lulus sekolah. Ia paham betul Yusuf pun terpaksa melakukannya karena keterbatasan ekonomi keluarga mantan pejuang itu. Tiga adiknya yang masih harus sekolah, memaksanya untuk secepatnya bekerja demi menggantikan posisi kedua orangtuanya membiayai sekolah adik-adiknya.
Jujur, Aini yakin Yusuf akan cepat diterima kerja begitu lulus dari MTs. atas. Pemuda itu pintar, tampan, dan ramah. Ya. Apa lagi yang kurang? Hanya ekonomi, tepat.
Di beranda depan, sambil menikmati udara malam, akhirnya Aini hanya menghela, tak mau memikirkan sejarah keberadaan manusia satu itu lagi dalam hidupnya. Matanya memejam, rasanya cukup lelah dengan kegiatan menyambut tamu seharian ini. Tapi tak lama, mata itu kembali membuka. Tepatnya setelah suara Iis menyapa telinganya.
"Assalamu'alaikum, Aini!" Gadis itu melambai, senang. Di belakangnya terlihat ayah dan ibu Iis, juga orang itu—orang yang sempat datang ke pondok dan memberikannya rekomendasi kuliah jurusan tarbiyah.
Begitu mereka bersitatap, Aini memalingkan wajahnya yang memerah. Di beberapa perbincangannya dengan Iis, ia mengaku kalau kagum dengan kakak lelaki Iis itu. Mana ada umur 18 tahun sudah bisa berakselerasi dan terjaring seleksi Universitas Al-Azhar? Tapi nyatanya ada. Namanya Sofwan, omong-omong. Lelaki itu beda jauh dengan lelaki-remaja yang ia kenal selama ini. Sofwan sopan, tahu adat-istiadat, dan ya—menghormati wanita. Sesempurna itulah sosok Sofwan yang digambarkan oleh Iis. Sejak melihat wajahnya secara langsung, Aini yakin gambaran itu benar-benar melekat pada Sofwan.
Aini menepis rasa hangat yang mulai menjalari sekujur tubuhnya, mencoba menjejak kenyataan kalau perbedaan umur mereka yang jauh tidak akanlah menjadi jembatan kedekatan. Aini dan Sofwan hanya dekat sekadarnya saja, seperti hubungan teman-dari-adik-perempuan. Dari kisah Sofwan yang seringkali diceritakan Iis secara gamblang begitu mereka tiba di kamar pondok, Aini jadi percaya akan satu hal: menjadi pintar dan punya impian setinggi langit itu wajib, tapi akan lebih baik kalau disusul juga dengan rasa rendah hati dan sadar diri—kalau tak akanlah manusia mempunyai otak yang sepintar itu dan bisa mencapai cita-cita masing-masing kalau bukan karena Sang Pemilik Bumi dan Langit. Keseimbangan urusan dunia dan akhirat, itulah yang Aini pelajari dari sosok Sofwan. Ia ingin menjadi seperti orang itu dengan menggapai impiannya menjadi dosen Bahasa Inggris—mata pelajaran kesukaannya—atau minimal menekuni bidang tarbiyah, seperti Sofwan.
Aini menghela, memutuskan menyudahi ungkapan kekaguman diam-diamnya itu dan menyambut Iis dengan pelukan sekadarnya, lalu salam kepada ayah dan ibu gadis itu, dan hanya melemparkan senyum kepada Sofwan.
"...Ayo masuk. Abi sama umi ada di dalam." katanya, seraya membimbing Iis sekeluarga masuk ke rumah.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
YUSUF & AINI [Move to Dreame]
Ficción históricaAku tak pernah berpikir akan mendapatkanmu. Ya, kamu; seorang pria, ayah, suami, yang luar biasa bagiku dan anak-anak. Kutulis ulang kisah kita ini dengan cinta, agar orang-orang tahu seperti apa sebenarnya cinta sejati yang di zaman sekarang termas...