PROLOG
MEREKA sudah saling mengenal sejak lama sekali. Aini tahu pemuda berkulit putih, beralis tegas, dan pandai itu bukan keturunan ningrat, berbeda dengannya yang anak dari pemilik sebuah yayasan pendidikan. Yusuf pun sadar diri ia hanya seorang pembelajar yang tak kan berhenti belajar kalau belum sampai di liang lahat, dan sama sekali tidak akan pantas mengenal seorang gadis hitam manis keturunan ningrat seperti Aini.
Namun nyatanya ingatan mereka sama-sama menyetujui tentang satu hal: Allah telah menggariskan mereka berdua bertemu pada malam itu, melalui salah satu firman-Nya yang sangat amat mengagungkan wanita.
Aini kecil terkagum-kagum, jujur. Dari kamarnya, tubuh 8 tahunnya itu membeku dengan mengulas senyum malu sambil memandang ke arah tiga orang di ruang tamu rumah mereka malam itu. Ia yang saat itu baru menamatkan hafalan juz 30, tidak menyangka ada bocah kecil bertampang lugu dengan usia yang tak berbeda jauh dengannya, bisa melafalkan surat kesukaannya, tanpa cacat. Di kepalanya terpatri bagaimana Aini terkesima selama dua jam-menyimak hafalan bocah 10 tahun itu melalui Quran-nya.
Perasaan kagum Aini pun bertambah, begitu di depan abi-nya, bocah lelaki itu mengaku bahwa surat itu adalah surat kesukaannya juga.
"...Subhanallah..Yusuf. Kenapa, kenapa kamu suka surat An-Nisa'?"
Yusuf, namanya.. Aini membatinkan nama itu, memutuskan untuk mengingat pemiliknya sebagai orang yang pantas untuk memacu semangatnya menghafal kitabullah.
Sementara itu, Yusuf menunjukan senyum malunya kepada abi Aini, seperti enggan mengatakan jawaban jujurnya. Maka, abinya pun mempertegas sembari mengelus kepalanya, "Kenapa, Nak? Jawab saja."
"Eh...karena umi pernah bilang, perempuan yang baik agamanya adalah yang paling baik untuk membimbing pasangannya ke surga, Inshaa Allah."
"Begitu?"
"Ya."
Di tengah 'ya' yang terucap sangat pelan, Yusuf kecil berusaha meredakan kegugupannya karena ia memang tak terbiasa berbicara cukup akrab kalau dengan orang asing. Matanya kemudian menjalar ke seisi ruangan, ketika abinya lanjut mengobrol soal sekolah lanjutannya dari Madrasah Ibtidaiyah dengan abi Aini. Yusuf menghela. Dari ruangan ini saja, ia sudah tahu kalau rumah ini lebih besar dan bagus daripada miliknya. Ya, jelas. Ini adalah rumah ketua yayasan tempatnya bersekolah nanti. Hafalan surat An-Nisa' yang baru saja ia setorkan adalah salah satu syarat untuk masuk ke sekolah lanjutannya di yayasan ini-jenjang MTs bawah. Hafalan itu juga lah yang diharapkannya bisa membantu kesulitan ekonomi keluarganya. Abinya bilang, sang teman yang baru saja memuji hafalannya itu akan memberikan sekolah, mondok, dan tempat tinggal gratis, alias dibeasiswakan bila ia bisa terus berprestasi ke depannya. Hafalan Quran adalah salah satu modalnya karena fokus yayasan ini adalah pembinaan pendidikan agama Islam.
Yusuf paham betul inilah salah satu nikmat yang Allah berikan untuknya; berupa otak cerdas yang terbiasa menghafalkan Al-Quran sejak dini. Ia bersyukur karena itu.
Tak lama, ketika matanya menjalar ke meja jati yang di atasnya berhias foto keluarga, Yusuf justru teralihkan fokus kepada satu sosok nyata. Matanya lebih dulu menangkap baju katun kekuningan itu, yang dilapisi rok batik di dalamnya. Makin ke atas, ia menemukan satu sosok ayu, manis meski hitam, yang sedang memandang ke arahnya juga dengan kagum.
Tiba-tiba saja, seakan menyahuti rasa penasarannya tentang nama orang itu yang belum dapat terucap, abi Yusuf menangkap arah pandang sang anak. Ia tersenyum simpul.
"Itu Aini. Anak buya," bisik abi Yusuf, Pak Madhi, di sela-sela obrolannya dengan abi Aini. Omong-omong, abi Yusuf adalah seorang mantan penjuang Tentara Keamanan Rakyat yang justru bekerja sebagai mubaligh, bukan menetap di militer. Karena pekerjaan itulah abi Yusuf bisa bertemu dan mengenal abi Aini.
Begitu tahu nama bocah perempuan yang menguping sesi hafalannya itu, Yusuf membatinkan nama itu keras-keras di pikirannya.
Ah, Aini. Salam kenal.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
YUSUF & AINI [Move to Dreame]
Historical FictionAku tak pernah berpikir akan mendapatkanmu. Ya, kamu; seorang pria, ayah, suami, yang luar biasa bagiku dan anak-anak. Kutulis ulang kisah kita ini dengan cinta, agar orang-orang tahu seperti apa sebenarnya cinta sejati yang di zaman sekarang termas...