Embun pagi terasa segar pagi ini. Rintik-rintik hujan masih terdengar terjatuh diatas tanah. Langit masih mendung. Lebih tepatnya berawan. Hawa seperti ini sangat cocok untuk sekedar bermalas-malasan di rumah ditemani semangkok mie goreng ditambah susu hangat lalu terlelap. Realitanya, aku sedang berdiri di peron stasiun ini menggunakan seragam sekoah ditambah sweater yang lumayan tebal. Kudengar pemberitahuan kereta akan datang sebentar lagi. Aku bersiap-siap sampai kereta itu berhenti dengan sempurna. Aku sedikit meloncat untuk masuk ke dalam kereta. Kereta cukup ramai hari ini. Sialnya, badanku tak terlalu tertinggi, tak bisa menggapai hand holder sampai seorang laki-laki memberi kode agar aku duduk di tempatnya dan dia bersedia untuk berdiri. Mau tidak mau, aku harus menerima tawaran itu kalau tidak mau terjepit dengan orang-orang yang ada di gerbong itu. Akhirnya, aku duduk dengan tenang. Laki-laki itu tepat berdiri di depan ku. Aku menganggukan kepala tanda bahwa aku berterima kasih. Aku memasang earphone lalu membaca novel yang ada di ponsel ku. Aku lebih suka membeli novel berbentuk e-book daripada membawa sebuah novel yang dapat membuat beban di tas ku. Tak lupa, ku ikat rambutku agar tak kegerahan di dalam gerbong yang pengap itu.
15 menit berlalu, aku sampai di stasiun tujuan ku. Aku melepaskan earphone ku dan memasukkan semuanya kedalam tas. Ku lihat laki-laki itu masih ada didepan ku sambil memegang ponsel ku. Aku beranjak dari duduk ku. Pintu kereta terbuka. Ah, rasanya sejuk. Kereta itu sesak sekali, untuk saja aku tak punya riwayat penyakit asma. Aku berjalan menuju pintu keluar dan tak lupa menempelkan kartu kereta. Letak sekolah ku tak begitu jauh dari stasiun ini. Tinggal berjalan selama 5 menit. Ku lihat jam tanganku meunjukkan pukul 6.30AM. Aku melewati gerbang sekolah dan menusuri koridor menuju kelas ku. Kelas ku berada dipaling ujung gedung ini. Kelas yang jauh dari peradaban kata siswa-siswa disekolahan ini. Aku memasukkan tas ku ke dalam loker yang diletakkan dibagian belakang kelas lalu mengambil beberapa buku pelajaran. Aktivitas yang membosankan. Aku duduk disamping seorang gadis seumuranku. Namanya, Arnita Fildzah.
"Lo udah pr matik ga?" sapa Nita. Tanpa perintah aku hanya memberikan buku matematika ku. Tabiat buruk Arnita aalah mengerjakan pr di sekolah. Aku tahu pasti ada Arnita-Arnita lain di sudut dunia ini.
"Sahabat gue nih" ia langsung memelukku.
TRIIIIIIIIIIINGG. Bel tanda masuk berbunyi. Pelajaran pertama di hari yang cukup medung ini adalah matematika. Tak apa, ini cocok menjadi media untuk menghangatkan badan. Untung saja, guru matematika ku tidak killer. Jadilah pelajaran matematika tidak terlalu tegang. Hari ini kami hanya menjawab soal-soal tentang trigonometri. Per orang disuruh maju untuk menjawab soal lalu menjelaskan soal itu. Satu dua orang terlihat antusias. Sisanya jangan diharap.
"Siap gerak. Beri salam" ketua kelas memberi aba-aba
"Terima kasih bu" kami serempak mengatakan. Lalu, guru matematika ku keluar dari kelas. Pelajaran selanjutnya adalah senibudaya. Gurunya kocak. Aku suka pelajaran ini. Isinya ringan ditambah aku yang cukup suka menggambar. Jadilah, aku tak akan mengantuk. Rasanya baru saja guru senibudaya ku masuk kelas. Tau-tau sudah bel istirahat saja.
Aku dan Nita hanya duduk di kelas. Bukan karena kami tidak dikasih uang jajan. Tapi, kami lebih memilih membawa bekal masing-masing dari rumah.
"Nit gue pipis dulu yah" ucap ku lalu terbiri-birit ke toilet. Syukurlah toilet tidak terlalu jauh dari kelas ku hanya 10 langkah mungkin. Toilet ini jarang digunakan oleh siswa lain. Paling hanya digunakan oleh murid di kelas ku. Serasa toilet pribadi sih. Sehabis buang air kecil, aku menuju kelas dengan langkah yang sedikit tenang dibandingkan saat tadi sebelum aku buang air kecil. Ku lihat Ilham sudah duduk disamping Nita dengan manis sambil menatap Nita. Ilham adalah teman kelas ku yang naksir berat dengan Arnita sejak keas 10. Namun, Nita malah bersikap tak acuh. Jadilah sampai sekarang Ilham suka mengganggu Nita. Setidaknya Ilham bukan tipe cowok yang habis ditlak lalu mencari yang lain. Aku terpaksa mengambil kotak makan ku lalu melahap bekal ku di bangku Ilham. Seperti biasa, Ilham memberi kode agar aku bertukar tempat duduk dengannya. Ku lihat Arnita kadang memasang wajah kesal nya. Tapi, aku tahu benar bahwa sahabat ku itu juga menicintai Ilham. Walaupun ia tak pernah bercerita dengan ku. Jadilah, aku yang senyum-senyum sendiri melihat kelakuan jahil Ilham kepada Nita.
YOU ARE READING
Aksara bisu
Teen FictionCinta yang indah itu... ketika kamu tak mengungkapkan nya ia akan selalu ada diruang hatimu sepanjang masa