Umurku masih 16 tahun. Masih kelas 2 SMA. Banyak ambisi dan cita-cita. Masih sangat belia. Masih punya perjalanan yang cukup panjang. Iya, kata orang, hidup itu tentang perjalanan bukan pelarian. Maka dari itu, aku belajar selangkah demi selangkah menuju masa depan. Masa yang bahkan masih tertutup kerahasiaannya. Masih misteri. Jadilah, aku selalu menjalani hidup sesuai hati nurani.
Sejak kecil, aku tak pernah memiliki masalah yang berat. Aku tumbuh dan berkembang di keluarga yang hebat. Keluarga yang mengajarkan ku kesederhanaan. Keluarga yang mengajarkan ku rasa kasih sayang yang sebenarnya. Aku tak pernah dipaksa menjadi pintar. Aku tak pernah dipaksa menjadi orang lain. Aku dipaksa menjadi diriku sendiri.Disaat orang tua lain ingin anaknya pintar lalu memaksa mereka untuk masuk ke lembaga bimbingan belajar. Orang tua ku tidak pernah melakukan itu. Bukan karena mereka tidak mampu. Namun, lebih karena mereka menyayangi ku. Jadilah aku tumbuh menjadi sosok yang mirip dengan mereka. Walaupun aku satu-satunya seorang perempuan. Justru itu lah istimewanya. Ayah selalu mengatakan ia bersyukur memiliki ku.
Aku sedang duduk diatas bangku sebuah gerbong kereta yang membawa ku ke stasiun yang biasa menjadi tujuanku. Kalau kalian bertanya mengapa aku lebih memilih transportasi umum? jawabannya karena aku tak ingin menjadi sosok yang manja. Ayah bisa saja menyuruh supirnya mengantar ku dengan mobil mewah milik ayah. Tapi apa? ayah dan ibu selalu menyuruh ku naik angkutan umum. Kalau memang sudah tidak ada pilihan, barulah aku akan diantar. Mereka tak ingin karena aku satu-satunya anak perempuan, aku dimanja.
Seperti kebiasaan ku di hari-hari sebelumnya, aku memasang earphone lalu membaca sebuah novel. Ku lihat, laki-laki itu duduk di seberang ku. Ia tersenyum ramah kepada ku. Aku hanya membalas senyumnya dengan ramah pula. Aku tak tau laki-laki itu siapa, yang aku tau, laki-laki itu adalah laki-laki yang 2 hari ini aku temui di gerbong kereta. Tak ada janjian, ini hanya kebetulan. Aku meloncat keluar dari gerbong lalu berjalan keluar stasiun seperti biasa. Tak ada yang berbeda, sekolah masih sama. Masih baik-baik saja.
Aku berjalan menyusuri koridor. Cuaca masih cukup mendung. Seseorang memanggilku, itu Farhan. Ketua OSIS sekolah ini. Ku tebak ia akan menanyakan ku tentang lomba basket hari ini.
"Ini, lo cek deh pemain hari ini udah lengkap apa belum" ia memberi ku sebuah kertas yang berisi daftar pemain. Lomba basket antar kelas ini baru dimulai hari ini. Jadi, pasti antusiasme siswa sekolah ini masih tinggi. Sehabis itu, Farhan langsung berlalu meninggalkan ku. Ia terlihat sibuk. Itulah resiko seorang ketua OSIS.
Aku menuju kelas lalu memasukkan tas ku kedalam loker. Ku lihat Ilham duduk di depan Arnita. Mengganggu Arnita seperti biasa. Aku menghampiri mereka berdua hanya untuk pamit karena aku harus segera ke lapangan basket.
"Nit, gue mau ke lapangan basket langsung yah?" ucap ku sambil mengalungkan name tag panitia ke leher ku yang sudah dibagi sejak beberapa hari yang lalu.
"Gue ikut" ucap Arnita
"Ya udah yuk" ajak ku
"Berarti gue juga ikut" ucap Ilham dengan wajah yang menyebalkan. Ku lihat Arnita memasang wajah kesalnya. Ah! hati mu tak bisa berbohong Arnita. Aku hanya tertawa lalu mengangguk tanda setuju.
Aku, Ilham dan Arnita mnyusuri koridor menuju ruang stadion olahraga disekolah ini. Kau tahu? Sebenarnya aku jalan sendiri, dibelakang Arnita dan Ilham. Baiklah, aku sudah biasa dalam keadaan ini. 16 tahun menjomblo rasanya biasa saja ketika melihat mereka harus jalan berdua.
Sesampainya disana, aku langsung jalan menuju ruang persiapan. Ruang ini biasanya dipakai para pemain untuk berganti baju, menyusun strategi ataupun berdoa sebelum pertandingan. Hari ini yang bermain adalah kelas XI MIA 2 dan XII MIA 1. Katanya ini pertandingan yang ditunggu sekali. Lawannya sengit kata siswa sekolah ini.
YOU ARE READING
Aksara bisu
Teen FictionCinta yang indah itu... ketika kamu tak mengungkapkan nya ia akan selalu ada diruang hatimu sepanjang masa