Dua hari ini Daisy memperlihatkan sisi berbeda dirinya, dia tampak penasaran apa saja yang Mbok Hani kerjakan setiap hari. Bagaimana cara mencuci pakaian menggunakan mesin, memasak, menyapu halaman, membersihkan taman, dan sebagainya. Ada banyak pertanyaan yang dia berikan kepada Mbok Hani. Seperti sekarang misalnya, gadis itu sedang berdiri sambil melipat sebelah tangan ke pinggang. Melihat dengan teliti bagaimana cara Mbok Hani menyetrika satu persatu pakaian dan meletakkannya ke dalam sebuah keranjang.
Daisy diam dengan sesekali keningnya mengerut, matanya tidak teralih ke mana-mana. "Kalau kena besi bawahnya itu panas kan, Mbok?" tanya Daisy tiba-tiba. Dia tidak menatap Mbok Hani, sekarang kakinya menyilang dengan sebelah bahu bersandar pada tembok.
"Kok pakai nanya, Neng." Mbok Hani menggeleng keheranan. "Ya, iya ini panas, mau coba nggak kalau nggak percaya?" Iseng menawari. Jika Daisy mengiyakan, saat itu juga akan Mbok Hani cubit. Sehari saja tidak bertingkah konyol, mungkin ada yang kurang bagi Daisy.
Daisy hanya memutar bola matanya malas, tahu jika diisengi karena gelagat Mbok Hani sedang menahan tawa. Daisy menarik kursi, masih sedikit penasaran. Tanpa catatan, Daisy bisa mengingat langkah demi langkahnya, lalu mengangguk-angguk seolah paham apa yang harus dia lakukan setelah melihat pekerjaan itu.
"Ceritanya mau belajar jadi istri yang baik, nih?" Mbok Hani mengulas senyum ramah, tangan kirinya terangkat mengesap puncak kepala Daisy. Tidak pernah sebelumnya Mbok Hani melihat Daisy menyukai seorang lelaki sampai begitu besar. Daisy adalah orang yang cuek, sangat tidak peduli dengan urusan orang lain asalkan tidak merugikan dirinya. Namun, satu minggu belakangan dia banyak bertanya mengenai berbagai hal, terutama menjadi wanita dewasa itu seperti apa.
"Belajarnya nanti, Mbok, sekarang lihat-lihat dulu. Ternyata ribet banget, aku nggak yakin bisa." Mimik yang tadinya ceria, kini berubah murung seketika. Daisy tersenyum pahit ketika sadar kemampuannya memang tidak seberapa, bahkan untuk dibanggakan saja hampir tak ada. Daisy terlalu santai menikmati hidupnya, sampai lupa melakukan sesuatu yang bermanfaat, yang kemungkinan bisa saja berguna di masa akan datang. Memasak, beberes rumah, semua pasti menjadi kewajibannya. Sesibuk apa pun seorang wanita dengan berkerier, kerjaan basic seperti ini pasti akan dilakukan juga.
"Bisa kok, Neng. Apa yang nggak bisa kalau kita memang mau belajar sungguh-sungguh? Semua orang yang jago itu karena sudah terbiasa melakukannya."
Daisy menopang dagu. "Itu dia masalahnya, Mbok, aku ini pemalas minta ampun. Jangankan orang lain, aku aja heran sama diri aku sendiri. Lagian, kenapa sih istri harus bisa masak dan beres-beres rumah? Padahal bayar jasa asisten rumah tangga juga bisa, buktinya aku besar dan sehat sampai sekarang karena ada Mbok Hani yang bantuin di rumah."
"Biar suaminya nggak diurus orang lain, tapi ada juga karena dia memang hobi—kayak Neng Kaily. Contohnya almarhum Ibu Eneng aja deh, beliau juga tetap masak dan beberes rumah meski ada Mbok di sini. Selain pahala, suami juga makin sayang. Neng Dezy suka 'kan disayang?" Daisy mengangguk cepat. "Ya sudah, belajar mulai sekarang. pelan-pelan aja."
"Tapi, kenapa Mama malah disia-siakan padahal dia bisa ngerjain semuanya? Mama juga penyayang banget, jarang marah, dan selalu baik sama siapa pun. Dunia bahkan nggak seadil itu waktu Mama masih ada, Mbok. Aku sering liat Mama nangis diam-diam. Nangis padahal lagi tidur, nangis sambil melamun, bahkan aku pernah juga liat Mama nangis sambil makan. Kalau ingat itu, aku nggak bakal bisa maafin Papa. Kasihan Mama, sampai meninggal pun bawa kesedihan di hatinya."
Mbok Hani membisu, tidak punya jawaban yang tepat untuk beberapa saat.
Daisy tersenyum pahit, kenyataan begitu kejam menghantam keluarganya. "Dari sana aku sadar, meski kita udah semaksimal mungkin melakukan yang terbaik, kalau pasangan kita nggak punya rasa syukur, percuma. Nggak ada gunanya, Mbok, hidup kita tetap menderita. Semua kembali lagi ke diri orang itu, bisa nggak dia memegang komitmen dan menjalankan tanggung jawabnya. Bahkan orang yang paling Mama percaya, bisa menaruh luka paling dalam." Daisy mengangkat bahu, cuek. "Seharusnya kalau punya masalah, yang disingkirkan itu masalahnya bukan orangnya. Benar 'kan, Mbok?"
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Alasan Mencintai Yusuf
Romance[Ini menceritakan kisah Yusuf, anaknya Adam dan Relin dalam cerita ZafinAdam] Cerita ini berkisah tentang seorang gadis berusia 18 tahun memiliki nama lengkap Daisy Yudhistira, baru saja lulus dari bangku sekolah menengah atas. Dia yang begitu pecic...