2. Tidak Ada Yang Berubah

24 2 0
                                    

"Emmm.... tunggu, tunggu. Apa yang kamu katakan tadi? Keluarga? Ayah? Ibu? Kakak?" Tanya seorang perempuan bermata empat dihadapan seorang gadis berumur sekitar 15 tahun.

"Ya" Ucap gadis itu dingin.

"Sebentar."
ayah? ibu? kakak? Jadi mereka keluarga? Ini sungguh mencurigakan. Gumam perempuan bermata empat dalam hati.

Psssttt...
"Cari informasi tentang keluarga Kazegawa Akano sekarang". Bisik perempuan berkacamata ke salah satu pria yang berada di ruangan itu. Pria itu pun bergegas meninggalkan gadis dan perempuan berkacamata itu berdua.

Mata perempuan itu tak pernah lepas memandangi gadis di hadapannya. Namun yang dipandang diam bagai boneka manekin yang di pajang di toko. Tak terusik sedikitpun.

Tak ada senyum, tak ada ekspresi, tatapan mata yang kosong, kulit putih pucat, itulah yang disuguhkan oleh sang gadis pada perempuan bermata empat dihadapannya.

"Baiklah em... Kazegawa Shikyo, itu kan namamu. Hari ini cukup sampai disini, tapi kamu datang kembali besok. Dan lanjutkan ceritamu." Ucap perempuan berambut hitam itu.

Tanpa mengatakan apa-apa sang gadis bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu putih bertuliskan exit diikuti tatapan sang perempuan. Namun sebelum ia memutar knop pintu itu, sang gadis berbalik.

"Sakamoto Mia. Itu kan namamu." Ucap sang gadis dibarengi dengan senyum tipis. Ia kemudian hilang di balik pintu putih meninggalkan tanda tanya besar di kepala sang perempuan bernama Sakamoto Mia.

"Bagaimana dia bisa tahu nama asliku?" Tanya Sakamoto Mia dalam hati.

Si gadis manekin itu berjalan tanpa minat, kakinya memang menyentuh bumi ini namun pikirannya melayang entah kemana.. Semua tatapan aneh yang tertuju padanya, semua celotehan yang ditujukan padanya tak ia hiraukan.

Ia berjalan bagai sebuah robot tak bernyawa. Hari pertama keluar dari rumah sakit, harus ia lalui dengan mengingat kejadian yang membuat dia masuk ke rumah terkutuk itu.

Seberkas cahaya menyinari hoodie hitam gadis itu. Sang gadis pun mengeratkan hoodienya, layaknya sebuah parasit yang takut kehilangan inangnya dan seperti seorang anak yang takut berpisah dengan ibunya.

Ia berjalan menatap kakinya yang melangkah entah kemana, menutup diri dari keramaian dan kesibukan kota. Berjalan bagai di atas sebuah treadmill. Tanpa tujuan.

"Ma, ma, coba lihat kakak itu! Dia baru keluar dari kantor polisi. Dia pasti orang jahatkan ma?" Ucap seorang anak sambil menarik narik ujung baju sang ibu. Tak lupa jari kecilnya menunjuk seorang gadis berhoodie.

"Ssttt... nanti dia dengar." Ucap sang ibu sembari mendekatkan jari telunjuk ke bibirnya. Ia pun mengusap lembut pucuk kepala sang anak.

"Tapi, tapikan ma. Dia orang jahat, kenapa dia bisa bebas keluar seperti itu?" Tanya sang anak kembali.

Tak disangka sang gadis berhoodie berhenti. Menolehkan kepalanya melihat keluarga kecil itu. Sang anak pun bersembunyi dibalik kaki sang ibu, menganggap bahwa itu adalah tempat teraman baginya. Sedikit mengintip dari sela kaki sang ibu, tiba-tiba tubuhnya terduduk gemetar.

Melihat keanehan sang anak, sang ibu pun berjongkok dan memalingkan wajahnya melihat kearah tatapan sang anak. Sang gadis yang ditatap dengan tatapan penuh ancaman dari sang ibu mulai kembali menggerakkan kakinya, meninggalkan keluarga kecil itu. Terduduk seolah sebagian raganya telah hilang, seakan tenaganya telah habis terkuras, sang anak gemetaran sedang sang ibu bingung harus berbuat apa.

Namun anehnya, dari sekian manusia yang berlalu lalang di tempat itu. Tak ada satupun yang melangkah mendekati keluarga kecil itu. Mata mereka telah buta, telinga mereka telah tuli, mulut mereka telah bisu, kaki dan tangan mereka telah lumpuh, otak mereka telah rusak dan dada mereka telah kosong.

Tak ada lagi rasa simpati, tenggang rasa, yang ada hanya sebuah dada yang kosong, hati yang busuk. Hati yang tidak lagi dapat hidup. Mereka semua tak ada bedanya dengan seonggok pohon pisang.

"Tidak ada yang berubah"

Ucap sang gadis berhoodie dengan senyum dingin terlukiskan diwajah pucatnya.

Dengan melirik sebuah jam yang melekat erat dipergelangan salah satu pejalan kaki. Ia kemudian mempercepat langkahnya, menghiraukan semua jeritan yang mengeluarkan umpatan yang tak seharusnya keluar dari mulut orang yang menganggap dirinya beradab. Ia berjalan, terus berjalan. Hingga berhenti di sebuah stasiun kereta bawah tanah yang terbengkalai.

Sang gadis itu pun turun dan mulai memasuki satu demi satu ruangan yang ada di stasiun tersebut. Setiap langkah menuntunnya memasuki ruangan dengan daun pintu yang cukup istimewa. Bersih.

Jari pucatnya meraih knop pintu lalu diputarnya. Nampak seseorang yang diselimuti kegelapan sedang berdiri membelakanginya.

"Ternyata kamu memang tepat waktu Kazegawa. Untuk itu, aku sudah mempersiapkan sebuah hadiah. Aku harap kamu suka." Ucap sosok misterius itu kemudian hilang ditengah kegelapan.

Merasa tak ada yang ganjil dari peristiwa itu, sang gadis melangkah mendekati sebuah kotak berwarna merah. Kotak yang berada ditengah ruangan itu. Sekali lagi ia menatap kotak itu tanpa minat, nampak sebuah gembok bertengger di kotak merah itu.

Secarik kertas tertempel diatas kotak merah. Kertas yang berisikan petunjuk untuk membuka gembok tersebut. Melihat tulisan yang ada dikertas, membuat kedua alisnya berkerut. Ia kemudian melipat dan memasukkan kertas itu ke dalam saku hoodienya.

Sekali lagi ia melangkah keluar dan menutup pintu itu seperti semula tanpa menyentuh sedikitpun kotak merah misterius di tengah ruangan itu. Gadis pun melangkah meninggalkan stasiun tersebut.

Hoodie hitamnya masih dengan setia menutupi tubuh ringkik sang gadis, mencoba menghalangi setiap mata untuk menatapnya. Setelah beberapa lama kaki kurus itu melangkah, akhirnya ia berhenti disebuah rumah bergaya perancis.

Dengan langkah pelan ia memasuki rumah tersebut, seketika aroma kue menyeruak masuk kedalam indra penciumannya.

"Selamat datang nona, sebentar lagi waktunya makan malam. Harap membersihkan diri." Ucap seorang pemuda yang sedang membawa sebuah kue.

Mendengar hal tersebut, gadis itu hanya menatap sekilas dan kemudian melangkah ke lantai dua. Pemuda tersenyum sambil melihat kepergian sang gadis.

Tak lama setelah itu, suara langkah kaki terdengar sedang menuruni tangga, nampak seorang gadis berambut merah muda dengan warna manik mata yang sama.

"Menu hari ini apa?" Tanya sang gadis ketika telah sampai didekat meja makan.

Dengan sigap pemuda menarik salah satu kursi dan mempersilahkan sang gadis duduk.
"Creme brulee dengan toping alpukat, dicampur dengan susu dan vanila." Ucap pemuda tersebut sembari memasangkan serbet keleher sang gadis.

"Enak." Kata sang gadis saat selesai memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya.

"Terima kasih nona" ungkap pemuda itu sembari berdiri setia di samping sang gadis yang di sebutnya nona.

"Kazuto-san" panggil sang gadis kepada pemuda disampingnya.

"Ya, nona" sahut pemuda yang bernama kazuto itu.

"Kenapa tidak duduk?" Tanya sang gadis sembari kembali memasukkan makanan kedalam mulutnya.

"Setelah nona makan, sungguh lancang jika seorang pelayan sepertiku duduk semeja dengan tuannya." Ucap kazuto sambil sedikit menundukkan badannya.

"Terserah kamu." Ucap sang gadis sembari meletakkan sendoknya dan berjalan pergi menuju lantai dua.

"Jam 08.25 , bawakan sepotong kue coklat kekamarku." Perintah sang gadis di sela-sela langkahnya menaiki tangga berwarna putih.

"Seperti perintah nona" ucap kazuto sembari menundukkan kepalanya. Ia kemudian tersenyum dan membereskan peralatan makan di meja tadi.

Fair?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang