4. Teman Lama

18 4 1
                                    

Tap tap tap tap, srett, srett.

Suara langkah kaki serta benda yang diseret teredam salju putih di sepanjang lorong yang gelap. Salju putih kini telah ternodai dengan warna merah kelam. Jejak kaki tergantikan dengan garis memanjang yang dalam.

Semakin lama langkah itu semakin pelan, hingga nampak di depan sana pondok tua tak terawat.

Kritttt

Pintu reot itu dibukanya, sinar redup dari lampu neon yang redup menjadi satu-satunya penerangan di pondok itu. Hawa dingin tak terelakan menusuk setiap jengkal tubuh hingga ke tulang.

Dihempaskannya sesuatu yang sedari tadi ia genggam ke lantai kemudian berjalan kearah tungku api. Dirogoh saku celananya kemudian mengambil sebuah pematik. Seketika hawa dingin saat itu sedikit memudar.

Dari cahaya api yang menyala membantu sang neon menerangi pondok tua itu, dapat dilihat sosok pria berperawakan tegas, tinggi, dengan alis yang tersusun rapi serta pahatan wajah yang sungguh menawan yang dapat membuat wanita berdiri mengatri hanya untuk melihat wajahnya. Namun sayang seribu sayang, bercak darah yang menutupi sebagian wajah itu pasti akan membuat wanita lari ketakutan.

"Uh. Au, akhh!! di, dimana ini? Au!!, sa, sakit" rintih kesakitan seorang anak laki-laki tak jauh dari sosok tampan itu.

"Akhirnya kau bangun juga. nah, bagaimana menurutmu gadis manisku? Harus ku apakan teman mu ini?" Tanya pria tampan itu.

Sang gadis yang duduk terdiam hanya dapat menyembunyikan wajahnya dibalik rambut merah mudanya yang terurai.

"Aduh aduh sayang gak usah menangis, wajah cantik mu tidak cocok dengan mata sembab itu" ucap pria itu lagi.

Plak, plak, bugh

Suara tamparan disertai pukulan menemani suhu yang dingin saat itu.

"Lihat apa yang kau lakukan anak brengs*!!!. Gadis manisku jadi sedih karena kamu!!!" Teriaknya marah.
"Sudah, sudahlah sayang. Aku sudah menghukumnya, jadi berhentilah menangis, yah?" Lanjutnya dengan tatapan lembut, namun dibalik itu. Ada amarah yang sangat besar.

"Kenapa? Kenapa kau tidak berhenti meneteskan air mata itu. Apa hukumanku belum cukup sayang?" Tanya pria tampan itu, yang kemudian kembali memukul bahkan membanting tubuh anak laki-laki yang kini telah penuh dengan memar dan darah.

"Tangan ini telah berani memegang tangan cantik gadis manisku. Sungguh tak dapat dimaafkan" ucap pria itu sembari menusukkan paku ke jari anak malang di hadapannya.

"Kaki ini telah berani memaksa gadis manisku berlari" ucapnya lagi sembari memasangkan kawat berduri di kaki anak itu.

"Bibir ini telah lancang menyebut nama gadis manisku" dengan lihai pria itu memasukkan sebuah jarum ke bibir mungil sosok dihadapannya.

Tak sampai disitu saja, siksaan demi siksaan terus pria tampan itu lancarkan ke tubuh mungil sosok di hadapannya. Teriakan, tangisan, dan permohonan terus terlontarkan dari mulut yang penuh luka dan darah.

Namun seketika tangan besar itu berhenti di tengah udara. Menunduk dan menatap lembut kemudian berkata.
"Baiklah, jika itu keinginan gadis manisku. Aku akan pergi sekarang"

Di iringi dengan suara lantai yang berderit, sosok pria itu kemudian hilang diantara pintu dan derasnya salju malam itu.

"Selamat datang 'teman lama'" ucap seseorang yang berhasil membuat anak laki-laki itu mendongkakkan pandangannya.

Fair?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang