Langit mendung, awan putih berganti kelabu. Pasti bentar lagi hujan akan turun. Batinku
Benar saja, tetes demi tetes rintik hujan mulai membasahi tanah, aroma tanah basah langsung menyeruak kedalam indera penciumanku. Aku menyukainya, bahkan sangat menyukainya. Bajuku basah oleh air hujan tapi aku tak berusaha menghindar, ku biarkan air hujan mengguyur badanku karena bagiku tetesan hujan itu bagai irama musik yang mengajakku untuk berlabuh bersamanya.
Aku masih berjalan dibawah hujan sambil tersenyum dan bersenandung kecil seolah rinai hujan adalah alunan musik yang mengiringi senandungku. Ditengah asyiknya bersenandung, aku merasa ada rasa hangat yang menjalar dipergelangan tanganku.
"woyy, udah bosan hidup ya ?" ujarnya seraya membentak.
Tanpa aku sadari ternyata aku tadi berada ditengah jalan raya, kendaraan berseliweran disana, untung dia cepet-cepet menarikku ke pinggir, kalau tidak mungkin aku sudah dimarahi oleh beberapa pengendara karena telah menghalangi jalan mereka. Ku pandangi dia, seorang cowok bermata coklat hangat, sehangat kopi buatan bunda untuk ayah disetiap pagi
"udah puas liatnya ? aku itu nanya, jawab dong! bukan malah bengong." Ucapnya, menyadarkan lamunanku. Ada rasa malu dan marah bercampur dalam diriku, malu karna udah ketahuan memandanginya, marah karena aku tak bisa mengelak ucapannya.
"maaf" hanya kata itu yang terucap, karena memang aku tak terbiasa berbicara dengan dengan orang lain selain orang tuaku dan orang-orang yang aku kenal dekat.
"huh, basah deh bajuku" dia menggerutu sambil mengibaskan tangannya untuk mengeringkan seragamnya. Aku merasa bersalah, tapi tak tau harus berbuat apa. Pasti seragamnya basah karena tadi dia menarikku ditengah jalan.
Aku masih termenung, dan lagi-lagi aku termenung, tanpa menyadari bahwa cowok tadi sudah tak ada disampingku, entah kapan dia pergi. Ku lihat jam yang melingkar dipergelangan tanganku menunjukkan jam 16:40, awan kembali cerah tapi hari sudah mulai gelap.
Ternyata sudah sore, pasti bunda khawatir di rumah. Runtukku pada diri sendiri.
Kini aku memasuki halaman rumah bercat hijau yang minimalis tapi asri, dapat dipastikan orang akan betah tinggal dirumah itu. Itulah rumahku, tempatku dan keluargaku tiggal.
"Assalamualaikum" ucapku sembari menutup pintu.
"waalaikumussalam" terdengar suara wanita paruh baya menjawab salamku sambil menghampiriku.
"ya ampun Senja, kamu kemana aja sih ? kok bisa pulang sampai sore dan basah-basahan gini ?" tanya bunda khawatir.
Ya begitulah, suara wanita paruh baya yang menjawab salamku tadi adalah bundaku, karna memang rumah ini hanya berisi 3 orang. Ayah, bunda, dan aku.
"hehe, bunda kayak tidak tau kalau Senja suka hujan" ucapku nyengir.
"suka hujan sih boleh, tapi tak harus hujan-hujanan gini. Nanti kalau kamu sakit, bunda yang repot"
"iya deh bund, Senja janji lain kali Senja gak bakal hujan-hujanan lagi"
"yasudah sana langsung masuk kamar, jangan lupa mandi air hangat agar gak sakit"
"oke bunda"
Aku melangkahkan kaki menuju kamarku. Kamar yang bernuansa serba hijau karena hijau adalah warna kesukaanku, sehingga semua benda dikamarku kebanyakan warna hijau. Aku langsung mandi dan ganti baju.
Lega dan nyaman, itulah yang aku rasakan saat ku rebahkan tubuhku diatas kasur. Tiba-tiba fikiranku melayang mengingat kejadian tadi siang dan mengingat wajah cowok bermata kopi tadi. Tanpa ku sadari terdapat garis lengkung di wajahku, aku tersenyum memikirkannya hingga aku terlelap dalam buaian kantuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pluviophile
Novela JuvenilHujan adalah segalanya Hujan adalah saksi bisu pertemuan kita Hujan temani hari-hari kita Hujan mencairkan kebekuan hati Hujan menghangatkan hati Hujan lagi dan lagi-lagi hujan Hujan pulalah yang menyampaikan rasa kita Secepat hujanlah rasaku jatuh...