Colton
Kami kembali ke mobilku sesudah berjalan-jalan sebentar. Suasananya sangat canggung setelah aku memegang tangan Jason. Betapa bodohnya aku secara tiba-tiba memegang tanganya, aku yakin dia bingung, aku yakin dia merasa aneh. Aku takut dia tidak ingin menjadi temanku lagi.
"Jason aku-"
"Tidak, tidak apa. Bukan masalah besar," dia memotong kata-kataku.
Aku semakin takut kalau dia benar-benar marah dan enggang berteman denganku lagi.
"Kau ingin langsung pulang atau bagaimana?" Aku berusaha tidak menatapnya karena aku takut aku dapat menemukan jawaban dari pertanyaanku dari tatapan matanya.
"Langsung pulang," Jason juga tidak berusaha menatapku atau berusaha mengucapkan lebih.
Oh God. What have I done?
Perjalan pulang itu terasa sangat lama walau kenyataannya tidak begitu, keheningan ini yang membuat waktu seakan berjalan sangat lama.
Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan kata-kata apa yang harus aku ucapkan kepadanya, aku tidak ingin pertemanan ini hancur begitu saja karena perbuatan bodohku di taman.
Ku harap dia masih ingin menjadi temanku. Cowok ini terlalu addictive dan aku tidak ada rencana untuk melupakannya. Not now or ever.
Perjalanan dari taman ke rumah Jason benar-benar sangat hening dan canggung. Aku berusaha keras untuk menghilangkan pikiran-pikiran negatif itu dari benakku, karena pikiran itu sedikit demi sedikit membunuhku. Memikirkan aku tidak akan bisa berbicara atau berdiri dekat dengannya membuatku mual dan membunuhku perlahan namun pasti.
Akhirnya kami sampai di depan rumah Jason, jam sudah menunjukan pukul 11 malam.
Selama beberapa detik Jason tidak bergerak sama sekali dari tempat duduknya. Aku menatapnya, memastikan jika dia tidak tertidur.
"Hey Jason?"
"I'm not sleeping, don't worry,"
Lagi, keheningan yang mengganggu ini tercipta di antara kami. Aku memikirkan untuk meminta maaf kepadanya, karena kalau bukan sekarang kapan lagi.
"Jason, about-"
"No, don't. Please Colton, not now,"
"I can't Jason!" Setengah membentak, aku melihat badan Jason menegang, "maaf aku tidak bermaksud membentak,"
Jason masih tidak menatapku. Aku tidak bisa membaca raut wajahnya, aku tidak mengerti apa yang sedang ia pikirkan.
"Look, Jason," aku memegang kedua pundaknya dan menariknya menghadapku, memaksa ia menatapku, "aku ingin minta maaf atas kejadian di taman, aku tidak bermaksud membuat mu takut atau semacamnya,"
Aku takut mendengar apa yang akan ia katakan atau reaksi apa yang akan dia berikan.
"Tidak, aku tidak takut atau semacamnya. Aku hanya terkejut. Aku butuh waktu untuk memprosesnya," akhirnya dia menjawab pertanyaanku.
"Kau tidak marah kan?" Aku terdengar seperti orang yang tidak ingin kehilangan pacarnya.
"Tidak Colton," Jason tertawa.
Jason, setelah beberapa saat seperti mogok berbicara denganku, akhirnya tertawa. God, aku suka mendengar suaranya. Terdengar seperti nyanyian malaikan di telingaku.
"Syukurlah," aku menghela nafas, lega ketika aku tahu dia tidak marah kepadaku.
"Uh, Colton?"
"Oh yea, sorry," aku melepaskan tanganku dari pundaknya, samar-samar aku melihatnya tersipu malu.
"Sepertinya ini sudah sangat larut. Sebaiknya aku masuk sebelum orang tuaku sadar aku belum kembali," dia menatapku.
Di bawah cahaya lampu jalan dan bulan yang samar-samar menerangi wajahnya. Aku melihat matanya memancarkan kilauan cahaya, membuat matanya terlihat sangat mempesona. Wajahnya, bibirnya, cara ia memandangku, membuat aku sangat ingin menciumnya sekarang juga.
"Colton?"
"Oh... sorry... ya?"
Jason tertawa kecil, "ekspresimu sangat lucu ketika kau bingung,"
"Dasar kau,"
Aku memajukan badan ke arah Jason dan mulai mengelitiknya, aku tidak tahu apakah Jason orang yang sensitif bila pinggangnya dikelitik tapi tidak ada salahnya mencoba.
"Aww! Colton! Stop! Can't take it any more! Haha!" Jason tertawa sangat keras dan berusaha menghentikanku.
"Say sorry to me then I'll release you!"
"Why would I? Haha" Jason meronta-ronta berusaha kabur dariku, "ok! Fine! I will! Release me now!"
"Ok," aku melepaskannya.
"Tell me again, kenapa aku harus meminta maaf kepadamu?" Jason menyunggingkan senyum jahilnya.
"Karena kau menganggap aku lucu," aku menjawab.
"Bukankah itu bagus?" Jason bertanya dengan ekspresi bingung.
"Eh, entahlah. Lupakan saja," aku memutar bola mataku.
"Ok. Sebaiknya aku pergi sekarang," Jason menatap ke arah bawah.
"Yea. Uh, boleh minta nomormu?" Aku bertanya kepadanya sambil menahan malu.
"Huh?" Jason terperangah, "eh, maksudku, ya... tentu saja,"
Aku memberikannya handphone-ku. Dengan segera ia mengambilnya dari tanganku dan mulai mengetikan nomornya, lalu dia menekan tombol call.
"Itu nomorku," Jason tersipu malu, tentu saja aku dapat melihatnya karena pipinya memerah.
"Thanks! I'll call you or text you later,"
"Ok, sampai jumpa Colton,"
"Yea, sampai nanti,"
"Terima kasih kau sudah mau hangout denganku hari ini, aku sangat menikmatinya," Jason tersenyum.
"Terima kasih kepadamu juga," aku membalas senyumnya.
Dengan itu dia membuka pintu mobilku dan berjalan keluar menuju pintu rumahnya. Aku memandanginya hingga pintu rumahnya tertutup dan Jason menghilang ke dalam rumahnya.
Aku menyalakan mesin mobil dan memacu kendaraanku pergi dari halaman rumah Jason. Dengan senyum terpajang di wajahku, aku tidak tahu lagi apa yang aku pikirkan. Aku hanya dapat memikirkan senangnya hangout bersama Jason.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One Who Saved Me (boyxboy)
Fiksi Remaja"Kau tidak akan pernah tahu bagaimana kehidupan seseorang berjalan atau cerita apa yang ia simpan selama ini. You only know his name and not his story." ------- Jason Easton, cowok pendiam yang tidak senang bersosialisasi. Terlalu senang menyendiri...