Bagian 4
Kenyataan Memalukan
Cansaclove tertawa nyaring, hingga Agnes bisa membayangkan kalau sekarang pria gila itu sedang berguling-guling di atas kasurnya.
"Apa yang kautertawakan?" geram Agnes yang memegang ponsel dekat pipinya sambil mondar-mandir di luar.
"Tentu saja Anda, Nona Muda."
"Kau sengaja, kan, melakukan ini padaku? Kali ini, sekalipun kau perlihatkan bukti tulisan tangan kakekku, aku tak akan percaya bahwa semasa hidup pria gila itu juga memelihara puluhan katak di rumahnya!"
"Sebelumnya, biar kukoreksi. Jumlah katak-katak itu hanya delapan belas ekor, tak akan bertambah sampai kapan pun. Ya, kakekmu memang memelihara mereka semua karena mereka dan maneken Eridan tak bisa dipisahkan."
"Diam!" Agnes menjadi lebih kesal dari sebelumnya setelah mendengar maneken sialan itu kembali disebut dalam topik pembicaraan mereka. "Bisakah kau berhenti menyebutkan kata 'maneken' itu di depanku, aku benar-benar muak dengannya?!"
"Yah, mau bagaimana lagi, memang mereka semua terkait, kok," kilah Cansaclove tanpa nada bersalah.
"Kalau begitu aku mau kau menyingkirkan mereka semua dari hidupku. Satu lagi, kaubilang kalau aku akan mendapatkan pekerjaan baru di sini. Kenapa kau malah mengirimku ke tempat terpencil begini? Apa kaupikir aku harus menempuh jarak empat puluh kilometer setiap hari untuk pulang pergi bekerja? Apa kau butuh direhabilitasi?"
Lagi-lagi gelegar tawa menggema di seberang. Kalau tak ingat jika ponsel adalah satu-satunya benda berharga miliknya saat ini, Agnes ingin sekali melempar ke dalam kolam dan membeli lagi yang baru tanpa kontak Cansaclove di dalam.
"Jawabanku atas permintaan pertamamu, maaf tak bisa kukabulkan. Para katak dan maneken tak bisa dipisahkan lagi dan tak boleh keluar dari sana. Yang kedua ... tenang saja, Nona. Anda tidak harus menempuh jarak sejauh itu, karena di sanalah tempat kerjamu yang baru."
"Apa maksudmu?" Mata Agnes menerawang jauh menembus sisi luar pagar, menyaksikan para buruh wanita dan pria menungging-berdiri-menungging-lagi di antara hamparan padang lavendel. Mereka sedang mencabut rerumputan liar yang tumbuh di sana.
"Kenapa masih bertanya apa maksudku, bukankah itu sudah jelas sekali, Nona? Kau akan bekerja di sana, menjadi pimpinan yang mengawasi para buruh di perkebunan lavendel. Anda tak harus berpusing-pusing ria mengurusi lembaran dokumen kantor, biarkan semua itu menjadi urusan anjing-anjing kakekmu sampai Anda menemukan suami. Sementara di sana, tugas Anda hanya perlu mengawasi para buruh dari atas menara pengawas dan tunggu pundi-pundi uang mengalir deras ke rekening Anda. Hahahahaha ... begitulah, amanah Tuan Preston."
"Cansaclove, kau dipecat!"
"Anda tak ingin memakan buburnya, Nona?"
Agnes melirik sekilas pelayan wanita berseragam pengantar bubur ke kamarnya. Dia adalah seorang wanita paruh baya dengan sanggul kecil di kepalanya, namanya Ruth. Saat ini, dia sedang berdiri di samping tempat tidur memperhatikan sang majikan. Lalu Agnes menggeleng lemah. Tak berselera makan apalagi bicara. Tetapi, dia penasaran, sudah berapa lama dirinya tertidur, jadi dia membuka mulutnya malas.
"Berapa lama aku tertidur?"
"Tidak lama, hanya beberapa jam."
"Apa sekarang sudah malam?" Agnes beranjak duduk perlahan dan menyandarkan tubuh ke kepala ranjang. Kepalanya sedikit pusing, tapi ingatan mengenai pembicaraannya dengan Cansaclove masih terus berkelebat seakan-akan berusaha membuatnya selalu ingat kalau dia harus bertahan hidup untuk membunuh seseorang di hari esok. Cansaclove harus mati di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mr. Mannequin [Repost]
Romance[Follow dan jangan lupa tinggalkan jejak ya] Agnes mendapatkan warisan maneken berwujud seorang pria rupawan mengenakan tuksedo hitam dan sebuah mini kastel tua di tengah perkebunan lavendel dari almarhum sang kakek-Howard Preston. Namun, semenjak...