Bagian 1 (Hadiah Sang Pengacara)

889 90 16
                                    

Bagian 1

Hadiah Sang Pengacara

London sedang diguyur hujan. Agnes baru menyelesaikan makan malam saat mendengar pintu rumah diketuk tiga kali. Kemudian dia berjalan keluar untuk membukakan pintu.

“Selamat malam, Nona,” sapa seorang pria tiga puluhan sambil menggigil kedinginan. “Apa benar ini kediaman Nona Agnes Lamoria Preston?”

Agnes mengangkat satu alis, memperhatikan penampilan si tamu dari ujung kepala hingga sepatu. Terlihat seperti orang-orang kakeknya; mengenakan setelan hitam mencolok dan terlihat bodoh.

“Ya, aku sendiri. Kau ...?” Agnes menggantungkan akhir pertanyaan antara yakin dan malas untuk menebak.

“Ah, syukurlah.” Seringai pria itu mengembang lebar hingga nyaris menyentuh kedua sisi telinganya, memberikan kesan menyeramkan alih-alih tampak ramah. “Saya Mark. Saya ditugaskan Tuan Cansaclove untuk mengirimkan ini kemari. Jadi, bisakah Anda tanda tangan di sini sebagai bukti bahwa kiriman telah Anda terima?”

Agnes mengintip ke balik punggung kurir sementara pria itu sibuk mempersiapkan kertas dan pulpennya. Seonggok kardus berukuran besar dan lebih tinggi dari tubuh si kurir berdiri di sana, sedikit basah akibat guyuran hujan. Membuat Agnes bertanya-tanya, benda apa yang ada di dalamnya.

“Aku tak pernah menerima hadiah dari Tuan Cansaclove sebelumnya. Apakah benda itu berat? Jika ya, bisakah kau—”

“Tidak, tidak.” Kurir itu menyergah cepat. “Ini sangat ringan. Saya bisa membawanya dengan satu tangan. Nah, silakan tanda tangan di sini agar saya dapat segera permisi undur diri. Masih banyak tugas.”

Tentu saja akan selalu ada banyak tugas setelah kakeknya meninggal. Kurir itu sekarang mungkin akan menyelamatkan para janda dan fakir miskin dari kelaparan sebagai salah satu wasiat dari kakeknya yang pernah bermimpi untuk menjadi malaikat semasa hidup.

Agnes membubuhkan tanda tangan sambil mendesah, kemudian membiarkan si kurir memelesat pergi setelahnya. Jika benda sebesar itu dikatakan ringan, dan memang benar cukup ringan, Agnes mulai ragu isinya cukup menarik untuk dilihat. Jadi dia membiarkan bingkisan itu tetap teronggok di ruang tamu setelah berhasil  diseret masuk. Tak berniat melirik apalagi membukanya.
Paling-paling kipas angin. Kipas angin yang cukup tinggi, lebih tinggi dari rata-rata dan tak wajar seperti hampir semua selera kakek, dia membatin tak acuh sambil menendang-nendang sisi bawah kardus sebelum meninggalkannya ke kamar.

Sebenarnya, diam-diam Agnes juga tak yakin kalau ada kipas angin setinggi itu.

Selang beberapa menit, ponsel yang tergeletak di meja rias berdering nyaring. Agnes baru selesai menggosok gigi dan berniat tidur saat akhirnya dengan terpaksa dia melangkah menjawab telepon tersebut.

Sebuah nomor asing dengan suara familier menyapa gaduh di seberang sana. Cansaclove terbahak di awal pembicaraan, sepertinya dia sedang berada di klub malam dan ... mabuk.

“Apa kau suka hadiahnya, Agnes? Dia tampan sekali, bukan? Kakekmu bilang dia layak menjadi pendampingmu kelak. Hahaha ....”

My Mr. Mannequin [Repost] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang