Bagian 8 (Dua Peribut Akan Tinggal Bersama)

295 52 6
                                    

Bagian 8

Dua Peribut Akan Tinggal Bersama

Jeremy merasa terpaksa hadir di kediaman Agnes setelah dirinya tak berhenti mendapatkan teror telepon sepanjang hari sebelum akhir pekan, siang hingga malam yang membuat kesulitan untuk mendekati seorang gadis incarannya.

"Pokoknya kau harus pindah kemari." Agnes menggebrak meja ketika mereka sedang sarapan bersama di Minggu pagi yang berkabut duka, akibat bias ekspresi murung yang terkuak di wajah Jeremy semenjak kedatangannya subuh tadi.

Remaja itu hanya memutar-mutar spageti di piring sambil bertopang dagu, melirik kakaknya sekilas tanpa minat berkata-kata.

"Aku akan menambah uang jajanmu."

Jeremy menaikkan alis kanan. Tidak terlalu tertarik. Sebelumnya Agnes selalu menggunakan umpan uang jajan dinaikkan saat dia membutuhkan kerja samanya, tetapi sepanjang ingatan Jeremy pula, kakaknya itu hanya menambah sedikit sekali. Bahkan tak cukup dipakai mentraktir teman-temannya makan di kafe sekolah.

"Tidak?" Agnes mengerti maksud dari gestur alis yang terangkat itu.

Jeremy menggeleng dramatis. Keduanya saling mengintimidasi melalui pancaran mata selama beberapa saat, hingga akhirnya Agnes yang merasa tersudut menelan ludah dan memejamkan mata rapat-rapat.

"Oh, kau ingat kalau Kakek pernah memintaku menyimpan the black card milikmu, yang dikatakan baru boleh diberikan saat usiamu dua puluh tahun nanti, kan?"

Jeremy mencebikkan bibir. Dia ingat, dan pernah memohon sampai berlutut di kaki Agnes untuk bisa mendapatkannya beberapa bulan lalu sebelum kakeknya meninggal. Namun, sia-sia. Sehingga dia memilih belajar melupakan. Tak disangka hari ini demi bisa mengajaknya tinggal bersama, Agnes akan mengungkit kembali soal itu.

"Aku bisa memberikannya padamu sekarang kalau kau mau tinggal di sini." Agnes mengatakannya dengan amat sangat ragu dan pada detik yang sama, dia menyesali ucapannya.

Tetapi Jeremy telanjur mendengar dan menerimanya dengan suka cita, seperti yang diharapkan. Dia langsung tersenyum lebar dan menyuapkan spageti yang sejak tadi dimainkan ke dalam mulut. "Kerja sama berhasil disepakati. Sekarang berikan kartunya dan aku akan segera mengambil barang-barangku."

Akhirnya setelah sarapan selesai, Agnes terpaksa menyerahkan janjinya dengan sedikit diwarnai adegan dramatis tarik menarik di antara dia dan Jeremy.

"Cepat berikan! Kau sendiri yang sudah menawarkannya padaku," Jeremy kesal saat Agnes tak juga melepaskan kartu kredit dari cengkeramannya.

"Kau tidak boleh boros. Jangan selalu membeli barang asli apalagi edisi terbatas. Kalau kau pakai sendiri, sih, tidak masalah. Tapi kalau kau berani melakukan itu untuk perempuan tak jelas di luar sana, aku akan mengambil kartu ini lagi dari tanganmu. Selamanya."

"Ini, kan, kartu pribadiku. Mau kupakai apa saja itu urusanku. Lagi pula kalau seandainya kau diberikan barang palsu oleh pacarmu, memangnya mau menerimanya?"

Agnes melepaskan kartunya sambil cemberut. Ketidakrelaan masih tergambar jelas di wajah cantik yang kini tak mampu bersilat lidah. Kali ini Jeremy menang telak dan semua itu gara-gara rumah sialan ini.

Sejak Agnes tersadar dari pingsan pasca mabuk dan menemukan rumah kembali berantakan, Agnes sadar kalau pikirannya mulai kacau. Tadinya dia berencana menuduh para pelayan lagi sebagai para tersangka, tetapi kemudian Agnes setengah teringat akan perjumpaan dengan pria misterius yang mengenakan tudung di malam dirinya pulang sambil mabuk. Kemudian kesadaran membuatnya memikirkan tentang cerita pemilik perkebunan pertama yang dikutuk oleh pengemis tua dari salah satu buruh tani.

Sejak saat itu, Agnes menyimpulkan bahwa pria yang dilihatnya malam itu adalah hantu dari si pemilik perkebunan pertama, gentayangan akibat arwahnya tidak tenang. Dia tidak menjadi batu seperti dongeng, melainkan mati dibunuh dan mayatnya dibungkus menggunakan selimut, lalu sampai sekarang jasadnya tak ditemukan. Karena itu dia menjadi hantu penasaran berselimut. Setidaknya, drama seperti itulah yang berhasil dikisahkan Agnes.

Jadi, Agnes memutuskan untuk menyucikan rumah dengan memanggil seorang pendeta sekaligus biksu dari gereja dan kuil tak jauh dari sana.

Agnes dan semua pelayannya memakai pakaian serba putih dan ikat kepala senada, selayaknya pendekar yang siap berperang bela negara. Mereka semua berbaris di halaman, menyaksikan segala prosesi penyucian sambil membantu merapal doa, meski kebanyakan pelayan hanya berkomat-kamit tanpa paham apa yang sebenarnya mereka ucapkan.

Air suci dipercikkan ke seluruh rumah. Doa-doa telah dipanjatkan sepanjang hari, kertas bermantera dipasang di atas setiap pintu, dan dupa tak lupa dinyalakan pada setiap sudut rumah dan kamar. Tak ketinggalan, uang kertas pun ikut dibakar di halaman belakang. Tetapi Agnes merasa semuanya belum cukup membuat tenang. Alih-alih ia justru menjadi lebih takut karena mendengar buruh pendongeng itu menambahkan cerita saat mereka kembali bertemu di ladang.

"Dia bukan hantu atau roh penasaran. Anda tidak bisa mengusirnya dari sana. Yang pernah saya dengar, dia sedang menunggu datangnya seorang wanita yang bisa membebaskan kutukan. Dia membutuhkan darah wanita itu sebagai tumbalnya. "

"Kak, aku pergi sekarang." Suara Jeremy yang menggema menyadarkan Agnes dari pemikiran semrawut. Dia mengerjap beberapa kali, memperlihatkan wajah yang tengah dilanda paranoid.

"Kau tidak akan lama, kan?"

Jeremy tersenyum geli. Tak biasanya Agnes bersikap sedemikian manis kepadanya. "Ya, kalau sudah siap semua, sih, aku akan segera ke sini lagi."

"Jangan sampai malam."

"Iya, aku tahu. Kau mau titip sesuatu?"

"Belikan aku bawang putih yang banyak. Dan ... pasak besar berbahan perak. Kau tahu, kan? Seperti yang di film-film itu ...."

Seketika Jeremy menaikkan alis kanan. "Kau mau perang melawan vampir? Di mana aku bisa mendapatkan pasak perak itu? Jangan mengada-ada!"

"Belikan di mana saja. Jangan cerewet!"

Eridan meringis sambil menekapkan kedua tangan ke telinga, mendengarkan keributan yang tidak pernah reda di bawah sana semenjak gadis itu menempati rumah ini.

"Ya Tuhan, apalagi, sih, yang dia ributkan sepagi ini? Kenapa Preston bisa berpikir kalau cucunya akan cocok denganku? Kalau begini terus, bisa-bisa aku akan mati jantungan sebelum kutukanku hilang."

Karena beberapa hari sebelumnya sudah dirasa cukup berat bagi Eridan. Malam di saat dia dikejar-kejar Agnes, jam beker yang selalu ramai di pagi hari mengganggu tidurnya, dan kulkas yang kini dikunci. Lalu kedatangan pendeta dan biksu yang melakukan segala ritual mengganggu itu. Mereka membakar dupa di setiap kamar tak terkecuali kamar yang ditempati Eridan, sehingga memaksanya bersembunyi di bawah tempat tidur. Di dalam kamar yang hanya memiliki satu jendela kecil yang tak pernah dibuka, diasapi dengan segepok dupa. Asapnya yang mengepul tebal tak hanya menyesakkan dada, tetapi juga membuat mata pedih hingga dia tak bisa berhenti menangis sampai bengkak.

Sekarang, bahkan di hari Minggu yang Eridan harapkan akan menjadi cukup tenang. Dia berharap Agnes akan menghilang sejenak ke gereja, atau jalan-jalan ke mana pun asalkan keluar dari sini. Namun ternyata, dia malah mengundang adiknya untuk tinggal bersama dan kembali ribut.

"Kalau begini, sih, lebih baik aku jadi maneken saja daripada menjadi manusia tapi harus kelaparan sepanjang waktu dan hampir tuli mendengar teriakannya. Apa semua wanita memang seberisik dia?"

Jret!

Pintu utama di lantai dasar dibanting hingga terdengar oleh Eridan, seolah-olah menjadi jawaban atas pertanyaan yang baru saja Eridan gumamkan. Lalu disusul suara derap sepatu yang berlari menjauhi rumah. Tak berselang lama, keadaan menjadi sangat tenang. Nyaris seperti mimpi.

"Akhirnya, dia pergi juga." Eridan menurunkan tangan dari telinga sambil mendesah panjang. "Sekarang aku bisa mandi dan mencuri makanan."

*

My Mr. Mannequin [Repost] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang