03 | Malam Dingin

67 11 0
                                    

"BENGONG AJA LO DARI TADI!" Tegur Shafa berteriak agar bisa mengalahkan suara dentuman musik.

"Iya, kenapa sih ada masalah apa?!"

Yang ditanya hanya menatap kosong gelas yang terisi cairan kekuningan dan meminumnya sampai habis, lagi.

Anin menggebrak meja bar agar sloki nya terisi penuh. Sang bartender segera menuangkan alkohol entah yang ke berapa kalinya.

"Cukup, Nin, lo bawa mobil. Kalo lo mabok siapa yang mau anterin?" Bella merebut sloki yang telah penuh oleh cairan kekuningan.

"Bali—kin." Anin mulai sempoyongan dan hendak menampar Bella. Dengan sigap, Shafa mencegat Anin berbuat lebih.

"Hmm.. dasar semu-a coowo breng–ssek ya?? IYA GA! HAHAHA." Anin mulai meracau tidak jelas. Ia hampir jatuh dari kursi bar dan dengan sigap kedua sahabatnya itu menangkapnya.

"Gawat ini. orgil nambah orgil ya ampun."

"Sadar nya bisa besok subuh. Mending bawa aja Bell ke sofa di sana." Saran Shafa menunjuk sebuah sofa merah dengan dagu nya.

"Ayo."

"Aaaa gue terbang wiii! Mama aku terbang nih nyusul mam-ma!" Anin merentangkan kedua tangannya dan hampir jatuh lagi. Pandangannya kabur. Kacau. Sangat kacau.

Bella dan Shafa menidurkan Anin di sofa yang mereka tuju tadi. Akhirnya Anin diam tidak berkutik.

"Bell anterin minum yuk, aus."

"Yuk. Si Anin juga bakal lama sadarnya."

Mereka berdua pergi meninggalkan Anin yang tidak sadarkan diri di sofa sendirian.

•••

4 jam kemudian...

Waktu sudah menunjukan pukul tiga dini hari tetapi mereka yang ada di sana menghiraukan nya.

Semakin malam, club semakin ramai. Apalagi club nya termasuk club kalangan orang-orang elit kelas atas.

Anin membuka kedua mata nya dengan berat. Kepala nya sangat pening dan seolah-olah berputar.

Dengan perlahan, Anin mengubah posisi tidurnya menjadi duduk dan memijat kedua pelipisnya.

Perut Anin bergemuruh tanda ia akan segera mengeluarkan isi perutnya yang menolak untuk dicerna.

Dengan setengah berlari dan setengah sadar, Anin menuju toilet terdekat. Anin menerobos lautan manusia yang tidak waras. Kepala nya semakin pening karena dentuman musik yang sangat keras. Ia menggapai apa saja yang ada di depannya untuk menopang tubuh.

Ia segera membuka pintu toilet dengan tidak sabaran dan mencengkram sisi closet.

Huek..

Ia memuntahkan segala isi perut yang tidak tertahan tadi. Rambut nya acak-acakan. Deru nafas nya memburu. Kepala nya masih pening.

Dengan tatapan jijik, Anin memencet tombol flush dan membasuh wajah nya di wastafel.

Kantung mata nya besar menghitam. Wajah nya pucat pasi bagai mayat. Anin kelihatan  sangat kacau. Seketika bayangan wajah seseorang tergambar di kaca wastafel.

"Bajingan sialan!" Nyawa Anin yang setengah sadar memukul kaca wastafel dengan kepalan tangannya sendiri. Buku-buku jari nya mulai mengeluarkan darah. Nasib kaca yang dipukuli sudah remuk berserakan di lantai.

Anin menghiraukan darah yang keluar dan berjalan keluar dari toilet.

Anin kembali ke tempat di mana ia ditidurkan seorang diri tadi.

Half a HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang