Disha menyeret koper itu tanpa semangat. Tubuhnya lelah dan pegal seluruhnya, apalagi tadi ia langsung di todong hadiah dan berbagai pertanyaan dari Ayah dan Bunda yang sedang duduk berdua di ruang keluarga, biasanya ada Disha disana tapi untuk kali ini Disha alpa dulu. Tulangnya mau lepas dari tempat.
Disha mendorong pintu kamarnya dengan kaki, bahunya melemas, ingin rasanya Disha langsung melompat ke ranjang kalau saja ia tidak ingat bahwa ia harus mandi dulu. Hari ini dan kemarin ia tidak menyentuhkan tubuhnya air sama sekali. Selain Air mineral, dan pas pipis tentunya.
Disha meletakkan kopernya sembarangan, mendorong koper itu kuat hingga ia tertidur di karpet, membuka resleting dan meraih pakaian tidur dari dalam koper dan tentunya pakaian dalam. Lalu beranjak menuju kamar mandi. Walau sesungguhnya ia enggan.
15 menit, tak lama kamar Disha menjadi ribut. Disha yang tengah heboh sendiri di kamar mandi seraya memainkan busa itu tiba-tiba diam, mendengarkan ribut apa yang terjadi di luar sana. Ah ternyata Rani, yang datang seraya meneriakinya untuk meminta hadiah dari Swedia. Rani, bawel sekali.
Disha mempercepat mandinya, meraih handuk dan menggunakan pakaian tidurnya, lalu melingkarkan handuk di kepalanya. Dan berjalan keluar kamar mandi. Tentunya untuk mencegah kerusakan dan kericuhan yang di akibatkan oleh sahabatnya.
"HALO DISHA!" Teriak Rani seraya berlari memeluk Disha. Yang malahan hampir membuat Disha jatuh ambruk karena tak bisa menahan keseimbangan tubuhnya.
"Ran, santai dong." Disha menjauhkan Rani dari pelukannya. Lalu melangkah untuk sekedar besandar di ranjang. Membiarkan tulang-tulang dan ototnya lurus dulu.
"Dish, lu gak bawain gue pesawat?" Tanya Rani seraya membongkar isi koper Disha, lalu mengobrak-abrik paper-bag berisi barang pecah yang Disha beli sewaktu ia masih di Swedia kemarin.
Tidak terasa begitu cepat Disha sudah ada di indonesia ya, padahal kemarin Disha masih galau-galau gara-gara Alaska.
"Gigi lu pesawat. Lu kata muat tu pesawat gue masukin paper bag." Disha menjitak kepala Rani seraya tertawa kecil. Seakan rasa sakit di punggungnya mereka perlahan ketika Rani mulai mengajaknya bercanda dan melupakan hal yang tidak mengenakkan.
"Kan bisa pesawatnya langsung landing di taman komplek."
Tawa Disha dan Rani pecah saat itu juga. Rani konyol dan Disha yang juga sangat mudah tertawa ketika mendengar lawakan tidak lucu Rani. Candaanya memang tidak lucu tapi melihat bagaimana wajah dan ekspresi Rani ketika menyampaikan lawakan itu yang membuat Disha ngakak. Walau Rani agak berpikir.
"Gila lu ya Ran. Masa iya itu pesawat landing di taman komplek, ntar kasian kios bensin lu." Disha menarik nafas dalam, sembari mengisi oksigen baru yang tadi sempat tersedot keluar karena tertawa terlalu berlebihan.
"Eh anyink anda ya. Gue ga ada kios bensin, adanya depot!"
Keduanya tertawa lagi-lagi. Walaupun keadaan kamar menjadi ricuh padahal hanya mereka berdua saja disana. Dasar perempuan, kalau tertawa gak suka sok jaim. Tapi coba aja pas di hadapan gebetan, jaimnya minta ampun.
"Btw, Dish." Panggil Rani yang ikut duduk di sisi ranjang. Seraya memainkan selimut Disha.
"Apa?"
"Kata Benua, 15 menit lagi dia jemput."
Mata Disha langsung terbelalak, terkejut tentu saja. Setelah sekian lamanya ia belum bertemu dengan Benua, akhirnya sahabatnya itu akan menjemputnya juga. Ah Disha jadi tidak sabar untuk bertemu Benua.
Disha, Rani dan Benua adalah sahabat dekat. Walau lebih dekat Disha dan Benua ketimbang Disha dengan Rani. Bukan kenapa, hanya saja Rani selalu memghindar ketika Disha sudah bersama Benua. Seperti tidak mau ikut bergabung bersama mereka. Dan memilih untuk menyendiri.
"serius?!" Tanya Disha dengan antusias, tubuhnya yang tadinya tengah bersandar di ranjang seketika juga langsung bangkit, melepas handuk yang melilit di kepalanya, lalu menggeringkan rambutnya dengan menggosokkan pelan handuk ke rambutnya. Yang dilakukan dengan tergesa-gesa.
"Iya Dish. Ganti baju gih." Rani mendorong punggung Disha menuju ke lemari,
Dan detik itu juga pakaian yang ada di lemari berhanburan keluar dari tempatnya, berserakan di atas ranjang dan lantai. Rani sendiri hanya menghembuskan nafas lelah ketika melihat tingkah Disha yang terlalu senang bahkan bisa dikatakan berlebihan.
"Ran, dia ngajak ngapain? Nonton?" Tanya Disha tanpa membalikkan badan untuk menatap Rani, tetap fokus dengan penjelajahannya akan lemari pakaiannya yang beberapa minggu terakhir ini tidak ia sentuh.
"Nggak tau. Dia cuman bilang ke gue katanya bilangin ke lo 15 menit lagi dia jemput." Rani lalu memilih untuk berbaring di ranjang Disha, menatap langit-langit kamar Disha yang berwarna hijau pastel.
Rani kenal Disha sudah agak lama, Rani sangat paham kalau Disha tidak suka warna merah muda. Entah kenapa tapi menurut Rani pink itu bagus dan cantik tentunya. Merah muda kan warna perempuan. Melambangkan perempuan.
"Aduh. Pake baju apa yah?" Disha mengetukkan jari telunjuknya ke dagu. Seraya berpikir dan mencoba untuk meramal, kemana Benua akan membawa Disha.
Rani beranjak, merasa lelah mendengar ocehan Disha karena sejak tadi hanya komat-kamit bertanya tentang kemana Benua akan membawanya dan pakaian apa yang pas untuk ia pakai. Padahal semua pakaian yang Disha punya, menurut Rani bagus semua.
"Pake sweater aja sih." Rani berdiri di samping Disha. Meneliti dari atas hingga bawah lemari Disha, mencari koleksi Sweater Disha.
"Ga mau." Tolak Disha. Rani menghembuskan nafas kasar.
"Jangan buang nafas kek gitu, ntar cepet mati lho."
"Budu ya. Gapeduli." Rani lalu memilih untuk melihat-lihat isi slinbag Disha. Meraih tas yang tergeletak di atas meja rias Disha, lalu menarik kursi rias dan mendudukinya. Lalu mulai membuka resleting Slinbag-nya. Belum juga Rani memasukkan tangannya kedalam, Disha sudah lebih dulu merebut slinbag tersebut. Menjauhkan dari Rani.
"Aduh Ran jangan dibuka. Ada sesuatu yang cuman bisa dilihat orang dewasa."
"Heh! Gue sama lu kan tuaan gue."
"Eh iya. Lupa hehe."
Disha lalu meraih celana jeans biru, dan memilih sweater berwarna kuning bergambarkan dua mata minion

KAMU SEDANG MEMBACA
Meant to be
Teen FictionMelupakan hal-hal yang baru pertama kali di jalani merupakan yang tersulit. Mengenal dan belajar banyak hal bersama, tumbuh bersama, serta menghabiskan hari-hari bersama tentu saja menjadi kenangan yang sudah sepantasnya untuk diingat selamanya. Bi...