Aku tidak tau untuk alasan apa, yang jelas, rasa sakit itu masih ada saat kamu menyanjungnya di muka umum. Saat kamu membanggakannya saat kamu memujinya. Aku tidak tau untuk alasan apa, aku masih merasa sakit saat tau, aku hanya sendiri menunggu, sementara kamu yang aku tunggu, sudah jelas-jelas memilihnya.
Aku tidak mengerti mengapa hingga kini aku masih menyimpannya. Toh, kenyataannya adalah bahwa kamu tidak akan pernah memilihku sebagai penjaga hatimu. Rasa itu masih ada, hingga kini. Tak berkurang, bisa jadi bertambah. Waktu yang dikatakan dapat membunuhnya, nyatana tak mempan untukku. Waktu itu kalah, dengan rasa dihati ini yang mungkin tak akan seberapa jika dibandingkan penjaga hatimu.
Kenyataannya, waktu, tak dapat berbuat banyak. Ia tak mampu meluluhkan aku dengan seorang yang baru.
Aku tau aku salah dengan aku menghukummu atas kesalahan masa lalumu, hingga akhirnya kamu memilih dia yang mampu menerima semua kekurangan dan yang pasti masa lalumu. Aku tau aku salah, karena dengan menunggumu yang telah memiliki dia, sama dengan menaruh harapan kosong yang tinggi untuk aku dan hatiku sendiri. Aku tau aku salah, karena sekali lagi, aku mencintai kekasih orang. Namun, rasa ini membuatku belajar untuk bersabar dan tidak memaksa seperti terdahulu. Aku tau aku salah, karena dengan menunggumu sama halnya dengan aku yang menutup hati untuk orang lain yang ingin mengetuknya. Kubiarkan hatiku kembali menikmati sakitnya mencintai sendiri. Hanya saja bedanya kali ini, adalah karena kesalahanku. Aku tau aku salah, karena dengan menunggu sesuatu yang tidak pasti, maka aku harus siap dengan resiko sakit hati. Patah hati? Bukan lagi. Hati ini sudah hancur, remuk redam saat tau kamu memilih dia dan mengatakan tak akan pernah berpaling.
Aku mencoba untuk memulai sesuatu yang baru, dengan yang lain. Hanya saja, semua itu rasanya sangat sulit. Kamu sudah tau alasannya.
Maafkan aku yang hingga kini masih mengharapkanmu. Maafkan aku yang hingga detik dan waktu ini masih menyimpan rasa untukmu. Maafkan aku yang hingga kini masih merangkai doa dengan membawa namamu untuk kupinta pada Tuhan. Maafkan aku yang hingga kini masih ingin terus bersamamu. Maafkan aku yang hingga kini masih terus ingin disampingku. Maafkan aku yang tanpa sengaja dan tidak langsung sudah menyakitimu dan penjaga hatimu kini.
Tidak, tidak. Aku tidak ingin membuatmu merasa bersalah karena telah memilih dia sebagai pendamping hidupmu, penjaga hatimu. Aku hanya ingin kamu tau apa yang tengah aku rasakan. Aku tidak pula ingin kamu kasihani, karena ini adalah pilihanku. Pilihanku untuk merangkai bait doa untukmu. Pilihanku untuk menunggumu sekalipun harapan itu tak pernah ada. Pilihanku, untuk sekali lagi menjadi bodoh dengan menaruh rasa pada kekasih orang. Pilihanku untuk hidup seperti ini. Tak apa, ini bukan pertama kalinya untukku. Namun, pertama kalinya rasa ini begitu besar hingga membuatku sempat ingin mengakhiri hidupku.
Bahagialah dengannya. Dengan dia yang telah kamu pilih menjadi penjaga hatimu. Dengan dia yang kamu pilih untuk dapat menemanimu di sisa kehidupanmu. Dengan dia yang kamu pilih untuk kamu cintai. Dengan dia yang beruntung mendapatkanmu. Tak akan aku berbuat macam-macam. Aku hanya akan memandangmu dari balik jendela itu, sembari merangkai doa doa terbaik untukmu, untuknya, dan untuk kalian.
Terima kasih telah menjadi bagian terbaik dari hidupku. Terima kasih, karena sudah terlalu banyak kenangan yang pernah kita lewati sebelum ini. Terima kasih sudah pernah hadir dalam kehidupanku. Terima kasih. Terima kasih.
YOU ARE READING
Goresan Tinta
PoetryGoresan pena kini tak bermakna, hanya tarian jari diatas tuts berwarna hitam dapat mewakilinya. sama, diatas sembuah bidang putih ia tertuang. Entahlah, hanya sebuah ungkapan hati agar tak menjadi beban.